Tak hanya itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) juga menjadi salah satu tolak ukur yaitu semakin tinggi IPM maka semakin tinggi kemakmuran masyarakat di negara tersebut.
Baca Juga: Pembuatan SIM Dapat Dilakukan Secara Kolektif di Seluruh Samsat pada maret 2020, Benarkah?
"Ditambah lagi dengan HDI kalau sudah di atas 0,85 nya itu sudah menjadi negara maju, tapi kita masih 0,7. Sebenarnya itu sudah cukup baik tapi belum bisa dikategorikan sebagai negara maju," tambahnya.
Maka dari itu, dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar negara maju menyebabkan Indonesia tidak menerima fasilitas Official Development Assistance (ODA) yang merupakan alternatif pembiayaan dari pihak eksternal untuk melaksanakan pembangunan sosial dan ekonomi.
Ia juga menyebutkan, melalui ODA makan sebuah negara berkembang tidak hanya mendapat pendanaan dari pihak eksternal, melainkan pula memeroleh bunga rendah dalam berhutang.
Baca Juga: Islamofobia Kembali Terjadi, Muazin di Inggris Ditikam oleh Pria Tidak Dikenal Usai Laksanakan Salat
FIthra melanjutkan, dampak buruknya adalah terhadap perdagangan karena Indonesia akan menjadi subjek pengenaan tarif lebih tinggi, karena tidak difasilitaskan lagi sebagai negara berkembang.
"Apalagi kita sekarang sudah menerima fasilitas pengurangan bea masuk Generalized System of Preferences (GSP) pasti ini juga akan berakhir dengan perubahan status ini," ujarnya.
Fithra menyarankan agar pemerintah dapat menyiapkan strategi dalam menghadapi hal ini seperti memperkuat pasar non tradisional, karena pasa AS dengan bebagai gejolak yang terjadi sudah tidak dapat diandalkan.***