PR DEPOK - Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) beberapa waktu lalu menyimpulkan bahwa insiden tewasnya 6 laskar FPI bukan termasuk pada pelanggaran HAM berat.
Kesimpulan tersebut tampaknya tak bisa diterima oleh semua pihak, beberapa pihak yang tak terima memutuskan untuk membentuk tim yang mendukung agar kasus tewasnya enam Laskar FPI diusut hingga tuntas.
Tim itu bernama Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar FPI Tim. Mereka menilai bahwa yang dilakukan polisi dalam insiden tersebut adalah pelanggaran HAM berat dan berencana melaporkan kasus itu pada Mahkamah Internasional.
Menanggapi kabar tersebut, Komnas HAM mengungkapkan bahwa Mahkamah Internasional atau International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda tidak menggantikan peran peradilan nasional.
Ahmad Taufan Damanik selaku Ketua Komnas HAM dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, mengatakan bahwa Mahkamah Internasional dibangun sebagai badan komplementer untuk melengkapi sistem hukum domestik negara-negara anggota Statuta Roma.
"Mahkamah Internasional bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara. Dengan begitu, Mahkamah Internasional atau ICC baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi unable atau unwilling," kata Damanik sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara.
Sebagai informasi, Statuta Roma menjelaskan bahwa kondisi unable atau "dianggap tidak mampu" merupakan situasi saat terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, baik secara menyeluruh atau sebagian yang berakibat tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum tidak bisa dihadirkan.
Sedangkan, unwilling atau kondisi "tidak bersungguh-sungguh" adalah ketika negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan.