Kasus 6 Laskar FPI Dibawa ke Mahkamah Internasional, Komnas HAM: ICC tak Gantikan Peradilan Nasional

- 26 Januari 2021, 10:40 WIB
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik menanggapi kasus 6 laskar FPI dibawa ke Mahkamah Internasional.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik menanggapi kasus 6 laskar FPI dibawa ke Mahkamah Internasional. /Instagram/@komnas.ham.

PR DEPOK - Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) beberapa waktu lalu menyimpulkan bahwa insiden tewasnya 6 laskar FPI bukan termasuk pada pelanggaran HAM berat.

Kesimpulan tersebut tampaknya tak bisa diterima oleh semua pihak, beberapa pihak yang tak terima memutuskan untuk membentuk tim yang mendukung agar kasus tewasnya enam Laskar FPI diusut hingga tuntas.

Tim itu bernama Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar FPI Tim. Mereka menilai bahwa yang dilakukan polisi dalam insiden tersebut adalah pelanggaran HAM berat dan berencana melaporkan kasus itu pada Mahkamah Internasional.

Baca Juga: Sebut Tokoh di Jakarta Terlalu Besarkan Isu Berjilbab, MUI Sumbar: Saya Lihat Ada Masalah Lain yang Ditujukan

Menanggapi kabar tersebut, Komnas HAM mengungkapkan bahwa Mahkamah Internasional atau International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda tidak menggantikan peran peradilan nasional.

Ahmad Taufan Damanik selaku Ketua Komnas HAM dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, mengatakan bahwa Mahkamah Internasional dibangun sebagai badan komplementer untuk melengkapi sistem hukum domestik negara-negara anggota Statuta Roma.

"Mahkamah Internasional bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara. Dengan begitu, Mahkamah Internasional atau ICC baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi unable atau unwilling," kata Damanik sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara.

Baca Juga: Kasus Covid-19 Tembus 1 Juta, Yan Harahap: dan Pak Jokowi Klaim Berhasil Atasi Krisis Kesehatan Akibat Pandemi

Sebagai informasi, Statuta Roma menjelaskan bahwa kondisi unable atau "dianggap tidak mampu" merupakan situasi saat terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, baik secara menyeluruh atau sebagian yang berakibat tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum tidak bisa dihadirkan.

Sedangkan, unwilling atau kondisi "tidak bersungguh-sungguh" adalah ketika negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan.

Halaman:

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Pemilu di Daerah

x