Menurutnya, Jokowi tetap harus mengikuti kesepakatan di awal, yakni menjabat selama 2 periode saja.
“Jadi kontrak politiknya itu sudah di awal, jangan seperti pemilihan pimpinan DPD, di awal 5 tahun tapi di tengah jalan dikudeta menjadi 2,5 tahun. Itu yang terjadi pada Irman Gusman waktu itu,” paparnya.
Ia lantas menegaskan bahwa masa jabatan harus jelas ditetapkan sejak awal sebelum orang tersebut menjabat posisinya, misalnya sebagai presiden.
Pun jika ada perubahan konstitusi, lanjut Refly Harun, harus dipastikan bahwa perubahan tersebut tidak diterapkan pada orang yang sedang menjabat saat itu.
Selain itu, Refly Harun juga memaparkan usulannya terkait dengan perubahan masa jabatan presiden yang bisa menjadi pertimbangan.
“Waktu itu saya mengusulkan agar masa jabatan presiden ini ada dua kemungkinan, dibuat satu periode saja, 6 atau maksimal 7 tahun. Atau bisa dipilih berkali-kali selama 5 tahun tapi tidak boleh berturut-turut, jadi ada berselang,” ujarnya.
Menurutnya, usulan ini bisa dijadikan solusi agar tidak ada kecurangan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, terutama pihak petahana.
“Di mana pun dalam proses pemilu, entah itu Pileg, entah itu Pilpres, entah itu Pilkada, incumbent (petahana) selalu mengambil atau memetik keuntungan. Bahkan, sering sekali melakukan pelanggaran-pelanggaran yang memanfaatkan jabatan publiknya untuk memenangkan pertarungan. Entah menggunakan fasilitas negara, menggunakan jabatan atau power-nya untuk menggeser orang, dan lain sebagainya,” tutur pakar hukum tersebut.***