Refly Harun menjelaskan, para menteri yang direkrut pemerintah, meski berasa dari partai politik, sebenarnya mengatasnamakan pribadi.
“Dia harusnya lepas dari partainya ketika dia masuk ke dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Mereka tidak memiliki visi dan misi partai masing-masing. Mereka hanya punya visi dan misi presiden,” tutur Refly Harun.
“Tentu imbalannya, Presiden berharap dukungan dari partai. Tetapi itu adalah dampak yang diinginkan, konsekuensi. Tetapi, kalau kita bicara membaca sistemnya (di Indonesia), tidak demikian. Bukan partai yang memerintah seperti parliamentary government, tetapi yang memerintah adalah kekuasaan eksekutif tunggal atas nama Presiden,” sambung Refly Harun.
Menurut Refly Harun, jika pernyataan Presiden Jokowi tersebut dimaksudkan sebagai pembagian seperti sistem parlementer, hal tersebut merupakan cara pandang yang salah.
Sebab, dalam sistem pemerintahan Indonesia yang menganut presidensial, harus tetap ada oposisi, dalam hal ini DPR.
“Dalam sistem pemerintahan presidensial, seperti itu yang terjadi, semua anggota DPR itu harus dianggap oposisi terhadap eksekutif karena mereka menjalankan tugas pengawasan,” kata Refly Harun.
Lebih lanjut, Refly Harun menjelaskan, bahwa dalam substansi demokrasi dibutuhkan adanya pengawasan, sehingga oposisi sangat dibutuhkan.
Sebab, jika pemerintahan berjalan tanpa oposisi atau satu arus, maka demokrasi tidak akan berjalan.