“Karena Presiden melakukan pelanggaran hukum, maka dia juga harus diproses. Walaupun prosesnya mungkin tidak melalui polisi, tapi diserahkan pada politisi. Tapi kira-kira apakah bisa, ketika politisi (DPR) dikuasai oleh mayoritas partai-partai istana?” kata Refly Harun seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com.
Refly Harun menilai, akan sulit jika menyamakan peristiwa kerumunan Presiden Jokowi dengan kasus kerumunan yang menjerat Habib Rizieq hingga di penjara.
Sebab, dalam konteks kasus Habib Rizieq, dia berada dalam posisi yang lemah, sehingga hukum begitu tajam kepada Habib Rizieq.
“Inilah yang saya katakan sense of justice. Hukum tidak ditegakkan lagi sebagaimana mestinya, tetapi hukum ditegakkan dengan cara siapa yang kuat, dia yang menang. Dalam konteks Habib Rizieq, karena posisinya lemah, maka hukum tajam sekali kepada beliau,” kata Refly harun.
Dengan begitu, lanjut Refly Harun, konstruksi berpikir hukum yang menyamakan peristiwa kerumunan Presiden Jokowi dengan kasus Habib Rizieq, belum cukup untuk menjerat Presiden.
Menurut Refly Harun, respon dari masyarakat yang menginginkan Presiden Jokowi diproses hukum seperti Habib Rizieq, karena terlalu mudahnya penegak hukum mengenakan pasal 160 KUHP tentang penghasutan terhadap Habib Rizieq.
“Masalah utamanya adalah terlalu mudah mengenakan pasal itu (160 KUHP) pada Habib Rizieq. Harusnya, penegak hukum tidak bermain-main dengan penggunaan pasal 160 tersebut,” ujar Refly Harun.
Sehingga, Refly Harun melanjutkan, pada akhirnya orang-orang akan menuntut hal yang sama, termasuk kepada Presiden jika melakukan pelanggaran kerumunan di tengah pandemi Covid-19.