Akademisi di bidang hukum itu lantas menegaskan bahwa hal itu jelas tidak menunjukkan sifat yang pancasilais.
“Jadi hal itu bisa kita lihat secara lebih critical, secara lebih dinamis. Sayangnya memang, di perguruan tinggi negeri, kadang-kadang pembelajaran tentang Pancasila itu formalitas saja,” ucapnya.
Sehingga, lanjut dia, ketika seseorang telah menyelelesaikan pembelajaran Pancasila dan bahasa Indonesia, orang tersebut tidak menganggap itu pelajaran yang penting.
“Karena pemerintah tidak membuat pelajaran ini menjadi menyenangkan dan trendy,” tutur pria berusia 51 tahun ini.
Oleh sebab itu, ia menekankan bahwa kealpaan Peraturan Pemerintah (PP) dalam mencantumkan Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai pelajaran wajib, tidak menghilangkan eksistensi mata kuliah tersebut karena masih tercantum di dalam UU.
“UU tidak boleh dikalahkan dengan Peraturan Pemerintah,” ujar Refly Harun mengakhiri.***