Yasonna menilai bahwa Pasal Penghinaan ini menandakan adanya batas yang tak boleh dilanggar oleh masyarakat, demi terjaganya adab dari masyarakat Indonesia.
"Kalau saya dihina orang, saya mempunyai hak secara hukum untuk harkat dan martabat. Bukan sebagai pejabat publik. Saya selalu mengatakan, kalau saya dikritik (bahwa) Menkumham tak becus, lapas, imigrasi, that's fine with me (tidak masalah dengan saya)," ujarnya.
"Tapi kalau sekali menyerang harkat dan martabat saya, misalnya saya dikatakan anak haram jadah, wah itu di kampung saya nggak bisa itu," tutur Menkunham.
Menurutnya, kebebasan yang sebebas-bebasnya tak akan lagi menjadi kebebasan, melainkan akan menjadi anarkis, termasuk dalam mengkritik.
"Saya kira harus ada batas-batas yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab. Keadaban itu saya rasa harus menjadi level kita, mengkritik presiden sah, sekritik-kritiknya lah," kata Yasonna Laoly.
Baca Juga: Sembako Bakal Kena Pajak, Mardani Ali: Ini Langkah Panik Pemerintah Melihat Utang yang Menggunung
Ia lantas menegaskan bahwa menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah boleh saja, tetapi lain cerita jika kritik tersebut sudah menyerang secara pribadi kepada presiden.
"Kritik kebijakannya, sehebat-hebatnya kritik, nggak apa-apa. Bila perlu tidak puas ada mekanisme konstitusional. Tapi once you get in personal (sekali kamu menyerang secara pribadi), soal yang personal, presiden kita dituduh secara personal dengan segala macam isu dia tenang-tenang saja," ujar politisi PDIP itu.
"Beliau mengatakan kepada saya, 'saya nggak ada masalah dengan pasal ini', tapi apakah kita biarkan presiden yang akan datang digituin?" tuturnya.***