“Sejak 2018 berbagai bentuk kekerasan seperti penganiayaan berat, penusukan, hingga pembunuhan telah terjadi. Korbannya antara lain almarhum Kiai Umar Basri, pengasuh ponpes Al Hidayah Bandung yang dianiaya oleh ODGJ. Kemudian almarhum Syaikh Ali Jaber yang ditusuk saat menyampaikan tausiyah di Lampung. Dan belum lama ini, Ketua MUI Labuhanbatu Utara juga ditemukan tewas lantaran dibunuh tetangganya sendiri karena sakit hati dinasihati,” ujarnya.
Kekerasan yang menimpa tokoh agama menjadi bukti bahwa kelompok sosial ini merupakan kelompok yang rentan.
Padahal, menurutnya tokoh agama sangat membantu tugas pemerintah dalam menyadarkan masyarakat pada setiap kebijakan.
“Tokoh agama mengemban tugas yang mulia sekaligus berisiko di tengah masyarakat. Keberadaan mereka menjadi vital dalam membantu negara melaksanakan tanggung jawabnya untuk membentuk warga negara yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia,” tuturnya.
Meski demikian, ia menyadari bahwa kedudukan tokoh agama memang penuh risiko lantaran mengemban tugas yang sensitif di tengah masyarakat Indonesia yang heterogen.
Maka dari itu, ia berpendapat bahwa diperlukan perangkat hukum Lex Specialis untuk memberikan perlindungan yang komprehensif dan sistematis bagi tokoh agama.
“Apakah kita tidak resah dengan kekerasan yang terus berulang? Teror ini harus dihentikan. Insiden belakangan ini semestinya membuat kita mulai berpikir pada usaha pencegahan yang bersifat sistematis dan komprehensif. Karena itu, saya mendorong agar pembahasan RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama bisa segera dilakukan di parlemen.” tuturnya.
Sebelumnya, telah terjadi penembakan yang menewaskan seorang ustaz di Kelurahan Kunciran, Kecamatan Pinang Kota Tangerang oleh Orang Tak Dikenal (OTK).