"Saya menilai masyarakat masih memandang perlu adanya pidana mati bagi koruptor sebagai perlindungan HAM dan memenuhi harapan keadilan masyarakat. Semakin tinggi kualitas kejahatan, semakin tinggi juga kualitas disharmonisasi sosialnya yang ditimbulkan," kata Jaksa Agung.
Dalam hal ini, ST Burhanuddin menekankan, hukuman mati bagi para maling uang rakyat harus dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan ke kondisi sosial yang terguncang karena adanya kasus tersebut.
Selain itu, ia menilai hak asasi harusnya berjalan beriringan dengan kewajiban asasi. Dengan begitu, apabila ada yang melanggar hukum maka menurutnya negara dapat mencabut HAM seseorang.
"Negara dapat mencabut HAM setiap orang apabila tersebut melanggar undang-undang. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 28 J ayat 1 UUD 45 yang telah meweajibkan setiap orang untuk meghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara," katanya.
ST Burhanuddin menambahkan jika di dalam pasal tersebut, HAM bukan sesuatu yang mutlak, sehingga sanksi pidana mati maling uang rakyat bisa direalisasikan.
"Dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD 45 telah menegaskan jika HAM dapat dibatasi dan bersifat tidak mutlak. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD 45 yang merupakan pasal penutup tentang HAM, maka penjatuhan sanksi pidana mati koruptor yang selama ini terhalangi oleh persoalan HAM dapat ditegakkan," ujarST Burhanuddin.***