Munculnya Etnis Tionghoa dan Sejarah Perayaan Imlek di Indonesia

- 18 Januari 2023, 11:35 WIB
Ilustrasi Imlek atau tahun baru China.
Ilustrasi Imlek atau tahun baru China. /Pixabay/kikky/

PR DEPOK – Indonesia dikenal sebagai negara zamrud khatulistiwa, negara kepulauan, negara seribu candi, dan masih banyak lagi julukan lain yang disematkan negara yang beribukota di Jakarta ini.

Disebut zamrud khatulistiwa karena Indonesia tepat berada di garis khatulistiwa (ekuator), negara kepulauan karena Indonesia adalah negara yang terdiri dari pulau-pulau, bahkan Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar dunia, dan dijuluki negara seribu candi karena Indonesia memiliki banyak candi yang dibangun sejak ribuan tahun lalu.

Tak hanya itu, Indonesia juga dikenal karena memiliki kekayaan alam dengan berbagai keanekaragaman hayati, suku bangsa, bahasa, budaya, agama, hingga etnis, salah satunya etnis Tionghoa.

Baca Juga: Gong Xi Fa Cai Artinya Apa? Berikut Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek 2023

Sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945, etnis Tionghoa sudah menginjakkan kakinya di tanah Jawa. Dalam catatan sejarah, para pedagang asal Tiongkok telah datang ke daerah pesisir Laut Cina Selatan sejak 300 tahun sebelum masehi, tapi catatan sejarah menunjukkan bahwa mereka datang ke Asia Tenggara lama setelah itu.

Orang Tionghoa sudah mengenal Nusantara sejak abad ke 5 masehi. Selama beberapa abad, orang-orang Tionghoa terus bertambah jumlahnya, tetapi tidak ada catatan yang jelas berapa jumlahnya di seluruh Nusantara.

Dalam catatan kuno China menyebutkan bahwa kerajaan-kerajaan kuno Jawa sudah menjalin hubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di China.

Awalnya orang Tionghoa hanya tinggal beberapa waktu selama masa kunjungan perdagangan yang dilakukan di beberapa kota pesisir. Namun, setelah melihat potensi dan kekayaan tanah Jawa, membuat banyak etnis Tionghoa terus berdatangan dan menetap di pulau Jawa untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik, dengan tujuan utamanya adalah berdagang.

Baca Juga: 4 Rekomendasi Destinasi Wisata Libur Tahun Baru Imlek 2023 Bertema Pecinan, dari Jakarta hingga Surabaya

Orang Tionghoa hidup secara berkelompok di kota-kota pesisir Jawa. Sampai tahun 2005, orang Tionghoa di Indonesia berjumlah kurang lebih 6 juta orang atau berkisar 3 persen dari seluruh jumlah orang Indonesia yang waktu itu berjumlah lebih dari 200 juta orang.

Kedatangan etnis Tionghoa diterima dengan baik oleh warga pribumi, akulturasi yang berjalan antara dua kebudayaan tersebut berjalan dengan baik. Bahkan karena para perantau Tionghoa yang datang ke Jawa didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga orang-orang Tionghoa ini kemudian menikah dengan wanita-wanita pribumi.

Secara budaya, masyarakat Tionghoa-Indonesia dapat dibagi menjadi kalangan peranakan berbahasa Indonesia dan kalangan totok berbahasa Tionghoa.

Orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia saat ini, dulunya sebagian besar berasal dari provinsi-provinsi Tiongkok Selatan (Guangdong dan Fujian). Kebanyakan dari mereka berasal dari kalangan pekerja buruh, petani, nelayan, dan sebagainya.

Baca Juga: Kenapa Imlek Identik dengan Warna Merah? Simak Fakta dan Alasannya

Pada umumnya, pemukiman orang Tionghoa yang ada di pulau Jawa sampai dengan tahun 1900-an terdapat di daerah Pecinan. Sejak tahun 1835 pemerintah kolonial Belanda membuat undang-undang yang disebut sebagai Wijkenstelsel, yang mana aturan ini sangat membatasi gerak orang Tionghoa dari daerah pemukimannya (Pecinan).

Barulah pada tahun 1910-an undang-undang tersebut dihapuskan. Itulah sebabnya sampai tahun 1900-an arsitektur Tionghoa di Nusantara pada umumnya terletak di daerah Pecinan dan sesudah dihapuskannya Wijkenstelsel, permukiman Tionghoa menempati daerah-daerah perdagangan yang strategis, di seluruh kota.

Pada tahun 1967, rezim Orde Baru mengeluarkan Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 14 Tahun 1967, yang isinya melarang perayaan-perayaan, pesta agama, dan adat istiadat Tionghoa.

Hal tersebut dikarenakan rezim Orde Baru memiliki sikap anti-komunis dan segala sesuatu yang berkaitan dengan China, serta budayanya dianggap berbahaya bagi bangsa. Peraturan tersebut tentu sangat menghambat perkembangan kebudayaan etnis Tionghoa di Indonesia.

Baca Juga: Mengisi Uang di Angpao Imlek 2023 Ternyata Ada Aturannya, Simak Penjelasan

Hal ini bermula saat menjelang kemerdekaan Indonesia, yakni pada masa pendudukan Jepang kesadaran atas etnisitas Tionghoa semakin diperkuat. Golongan Tionghoa diurus secara terpisah dari penduduk pribumi, serta didorong agar mempertahankan identitas etnisnya. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam UUD 1945 yang diterima oleh para nasionalis menetapkan bahwa Presiden Republik Indonesia haruslah seorang asli Indonesia.

Hal ini tentunya secara tidak langsung menolak dan menganggap bahwa warga keturunan Tionghoa lokal dan peranakan lain yang ada di Indonesia bukan bagian dari negara Indonesia dan menolak keberadaan warga keturunan Tionghoa dan peranakan lain.

Keadaan inilah yang membuat kurangnya interaksi antara orang Tionghoa dengan pribumi kala itu, hingga muncul berbagai stereotip antara kedua golongan tersebut.

Orang-orang pribumi memandang orang Tionghoa sebagai kelompok yang eksklusif yang hanya mementingkan keuntungan dalam bisnis. Sementara orang Tionghoa memandang orang pribumi sebagai kelompok masyarakat yang pemalas dan pemeras, karena orang-orang pribumi yang mendapat kedudukan tinggi dalam pemerintahan sering memeras para pengusaha Tionghoa. Berbagai faktor inilah yang menyebabkan berbagai kerusuhan anti Tionghoa.

Baca Juga: 12 Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek 2023 Penuh Rasa Syukur

Barulah pasca kerusuhan Mei 1998, bermacam-macam kelonggaran diberikan kepada komunitas Tionghoa, tepatnya pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang mengeluarkan Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967, yang merupakan pengakuan bahwa masyarakat Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia, seraya dengan menghapus peraturan yang dianggap diskriminatif tersebut.

Satu tahun kemudian tepatnya pada tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur opsional. Ia juga mencabut larangan menampilkan karakter China dan impor publikasi China. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan hak-hak orang Tionghoa untuk mengapresiasikan kegiatan dalam hal agama dan budaya.

Pencabutan peraturan ini disambut lega dan euphoria. Sejak saat itu, festival yang berhubungan dengan budaya Tionghoa dilakukan secara terbuka. Misalnya perayaan Imlek yang diselenggarakan secara besar-besaran di berbagai kota.

Baca Juga: Jangan Beri 7 Hadiah ini di Tahun Baru Imlek, Salah Satunya Simbol Putus

Barulah pada tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional mulai tahun 2003 dan telah menjadi hari libur populer yang dirayakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, tidak hanya sekitar 2,8 juta orang Indonesia keturunan Tionghoa.

Imlek merupakan perayaan Tahun Baru terpenting bagi etnis Tionghoa. Tahun Baru Imlek adalah hari libur umum di beberapa negara di Asia Timur yang dimulai saat matahari terbenam pada hari Bulan Baru kedua setelah titik balik matahari musim dingin (21 Desember), yang berarti Tahun Baru dapat dimulai kapan saja dari 21 Januari hingga 21 Februari.

Tahun ini, etnis Tionghoa akan merayakan Tahun Baru Imlek pada Minggu, 22 Januari 2023. Waktu yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga, menyantap hidangan khas Imlek yang dipercaya akan membawa hoki seperti jiaozi (kuo tie), ikan, kue keranjang, jeruk mandarin, siu mie (mie panjang) yang memiliki makna panjang umur, rejeki yang melimpah, kemakmuran, serta kebahagiaan, dan berdoa untuk tahun yang lebih baik dan penuh keberuntungan.***

Editor: Rahmi Nurfajriani


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x