Komnas HAM Minta Pemerintah Tanggapi Serius untuk Tidak Lanjutkan Pembahasan Omnibus Law

- 14 Agustus 2020, 17:59 WIB
Aktivis yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu (ARB) melakukan aksi damai #GejayanMemanggilMenolak Omnibuslaw di Gejayan, Sleman, D.I Yogyakarta, Senin (9/3/2020). Dalam aksi yang diikuti ribuan mahasiswa serta masyarakat dari berbagai elemen itu mereka menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai merugikan masyarakat.
Aktivis yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu (ARB) melakukan aksi damai #GejayanMemanggilMenolak Omnibuslaw di Gejayan, Sleman, D.I Yogyakarta, Senin (9/3/2020). Dalam aksi yang diikuti ribuan mahasiswa serta masyarakat dari berbagai elemen itu mereka menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai merugikan masyarakat. /Andreas Fitri Atmoko/ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/foc.

Hal ini khususnya terkait dengan ketentuan Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011 yang menjamin hak untuk berpartisipasi dan asas keterbukaan yang menjadi elemen fundamental dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

2. Terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior di mana dalam Pasal 170 Ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah dapat mengubah peraturan setingkat undang-undang jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta Kerja.

Baca Juga: Pengumuman SBMPTN 2020, Unpad Imbau Waspadai Modus Penipuan Berkedok Penerimaan Mahasiswa Baru 

3. RUU Cipta Kerja akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif sehingga berpotensi memicu terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan tidak sesuai dengan prinsip peraturan perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel.

4. Tidak ada jenis undang-undang yang lebih tinggi atau superior atas undang-undang lainnya sehingga apabila RUU Cipta Kerja (omnibus law) disahkan, seakan-akan ada undang-undang superior. Hal ini
akan menimbulkan kekacauan tatanan hukum dan ketidakpastian hukum.

5. Pemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sehingga melanggar kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi.

Hal ini di antaranya terkait dengan politik hubungan kerja yang membuka seluas-luasnya praktik perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)/kontrak, kemudahan dalam proses/mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja, penurunan standar kelayakan dan kondisi kerja yang adil terkait dengan upah, cuti dan istirahat serta pemunduran dalam perlindungan hak untuk berserikat dan berorganisasi.

Baca Juga: Ada Tiga Insentif Baru, Bapenda Jabar Berikan Diskon Pajak Kendaraan Bermotor hingga 10 Persen 

6. Pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang tercermin dari pembatasan hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi.

Hal ini di antaranya terkait dengan ketentuan yang mengubah Izin Lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan, berkurangnya kewajiban melakukan AMDAL bagi kegiatan usaha, pendelegasian uji kelayakan lingkungan kepada pihak swasta, hilangnya Komisi Penilai Amdal, perubahan konsep pertanggungjawaban mutlak sehingga mengurangi tanggung jawab korporasi dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta berpotensi terjadinya alih tanggung jawab kepada individu.

Halaman:

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: Komnas HAM


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x