Soroti Pelajar Penghina Palestina Di-DO Sekolah, Aktivis: Harusnya Sanksi yang Baik Buat Anak, Bukan Hukuman

19 Mei 2021, 16:12 WIB
MS didampingi orang tua usai mediasi bersama para pihak di Polres Bengkulu Tengah di Bengkulu terkait ucapan kebencian terhadap Palestina, pada Rabu, 19 Mei 2021. /ANTARA/Anggi Mayasari.

PR DEPOK - Direktur Pusat Pendidikan Perempuan dan Anak (PUPA) Susi Handayani menyoroti keputusan sekolah mengeluarkan pelajar penghina Palestina berinisial MS.

Susi Handayani mengatakan mengeluarkan pelajar penghina Palestina dari sekolah adalah bentuk penghukuman.

Padahal, penghukuman terhadap anak telah ditiadakan sesuai dengan UU nomor 35 tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Baca Juga: Pelajar yang Hina Palestina Dikeluarkan dari Sekolah, Okky Madasari: Norak, Merampas Hak Orang Berekspresi

Sebaliknya, Susi Handayani menyebutkan, terhadap pelajar penghina Palestina itu, seharusnya diberikan sanksi.

"Pertama kita semua mengakui apa yang dilakukan anak itu (pelajar penghina Palestina) salah tapi yang diberikan seharusnya sanksi yang berdampak baik bagi anak, bukan hukuman. Karena semangat UU Perlindungan Anak tidak ada lagi hukuman bagi anak," kata Susi Handayani seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara.

Lebih lanjut, menurut Susi Handayani, bentuk sanksi yang dapat diberikan kepada pelajar penghina Palestina itu antara lain membuat konten pendidikan di media sosial yang ia gunakan dalam durasi tertentu sehingga bentuk sanksi itu mencerahkan bagi dirinya dan publik.

Baca Juga: Lokasi Teroris MIT Poso yang Bunuh 4 Petani Terdeteksi, Polri: Butuh Sumber Daya Besar  

Selain itu, kebijakan mengeluarkan pelajar penghina Palestina dari sekolah menurutnya adalah pola penghukuman, karena mengacu pada poin-poin pelanggaran tata tertib sekolah dan hukumannya adalah dikeluarkan dari sekolah.

Maka dari itu, dikatakan Susi Handayani, seharusnya pola ini tidak diterapkan lagi dalam sistem pendidikan yang memerdekakan.

Selanjutnya, Susi Handayani menyoroti proses penyelesaian kasus pelajar yang menghina Palestina. Menurutnya, dalam mediasi, yang bersangkutan seharusnya juga memiliki pendamping selain orang tua.

Baca Juga: Novel Baswedan Ungkap Korupsi Bansos Rp100 Triliun, Yos Nggarang: di Negeri yang Rakyatnya Susah Dapat Makan

Pasalnya, posisi MS saat itu sangat lemah dan hanya menerima semua keputusan yang ditimpakan kepadanya.

"Saat anak dihadirkan dalam proses mediasi seharusnya didampingi karena dia dihadirkan sebagai orang yang bersalah tentu ada tekanan psikologis. Maka semua hal diterima karena posisinya lemah," ujarnya.

MS (19) pelajar kelas II SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu dikeluarkan dari sekolahnya akibat tindakan ujaran kebencian menghina Palestina via aplikasi TikTok yang sempat viral.

Baca Juga: Sayangkan Ucapan Hendropriyono Soal Palestina, Abdul Mu'ti: Pernyataan Beliau Tak Cerminkan Sikap Negarawan

"Keputusan ini diambil setelah pihak sekolah mengevaluasi tata tertib sekolah dan pelanggaran MS dan hasilnya yang bersangkutan sudah melampaui ketentuan," kata Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Bengkulu Tengah, Adang Parlindungan di Bengkulu, pada Rabu 19 Mei 2021.

Ia menyebutkan, keputusan tersebut merupakan jalan keluar yang sudah disepakati bersama antara pihak sekolah, orangtua MS dan sejumlah pihak terkait yang dimediasi kepolisian dan sejumlah tokoh masyarakat.***

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler