Penyelenggara Haji dan Umrah Keluhkan Sanksi Berat UU Ciptaker, DPR Sebut Agar Tak Rugikan Jemaah

- 31 Oktober 2020, 21:40 WIB
Ilustrasi demonstrasi menolak Omnibus Law.
Ilustrasi demonstrasi menolak Omnibus Law. /Antara

PR DEPOK - Anggota Badan Legislasi DPR RI, Bukhori Yusuf mengungkapkan sejumlah asosiasi penyelenggara ibadah haji dan umrah (PIHU) menyayangkan pidana dalam UU Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Pidana kurungan tersebut hingga 10 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar dalam UU Ciptaker Bab III Bagian Empat, Paragraf 14 tentang Keagamaan pasal 125 dan 126.

Ia menyebutkan bahwa di sisi lain, Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dapat dikenakan sanksi administratif sekaligus oleh aparat penegak hukum.

Aturan tersebut sesuai bunyi pasal 118A dan pasal 119A, sehingga sanksi yang diterima nantinya berlapis-lapis.

Baca Juga: Link Live Streaming beIN Sports Alaves Vs Barcelona Minggu, 1 November 2020 Sports

“Berat sekali konsekuensinya bagi mereka (PIHK dan PPIU) jika kedua sanksi dikenakan sekaligus,” ujar Bukhori dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara.

Pasal 118A dan 119A UU tersebut mencakup sanksi yang ringan berupa denda administratif sampai yang paling berat yakni pencabutan izin usaha.

PIHU juga diwajibkan mengembalikan biaya yang sudah disetor oleh jemaah kepada PPIU dan/atau PIHK serta kerugian bukan materil lainnya.

Bukhori menerangkan bahwa pasal-pasal 118A dan 119A sesungguhnya memiliki maksud yang baik, yaitu memberikan proteksi kepada jemaah dari praktik penyimpangan pihak penyelenggara ibadah haji/umrah yang merugikan jemaah.

Baca Juga: Korban Gempa Turki-Yunani Terus Bertambah, Erdogan dan Kyriakos Ciptakan Momen Hangat

Hal itu berkaca pada kasus yang pernah terjadi sebelumnya yakni penipuan biro haji dan umrah First Travel.

“Pembentukan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberlakukan sanksi pidana guna menjerat PPIU/PIHK nakal,” ucapnya.

Akan tetapi, di sisi lain ia sangat menyayangkan rumusan pasalnya yang ambigu karena pasal rujukannya adalah 118A dan 119A, yakni berisi tindakan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, kepulangan, dan keterlantaran.

Selanjutnya, yang bermasalah adalah yang tercantum dalam pasal berikutnya, yakni pasal 125 dan pasal 126.

Baca Juga: Link Live Streaming Liverpool Vs West Ham United Minggu, 1 November 2020

“Disebutkan bahwa PIHK maupun PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 118A dan 119A juga bisa dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 miliar,” kata Bukhori.

Ia menjelaskan, konsekuensi dari tumpang tindih pasal terkait sanksi itu akan membuka celah bagi terjadinya multitafsir atau pasal karet.

Hal itu disebabkan karena penegak hukum dapat mengenakan sanksi pidana saja atau sanksi administratif dan sanksi pidana sekaligus.

Menurutnya, jika dilihat dari segi etika hukum, pemberlakuan sanksi berlapis itu juga tidak adil karena melampaui batas kewajaran.

Baca Juga: Link Live Streaming Sheffield United vs Manchester City Sabtu, 31 Oktober 2020

Ia menerangkan bahwa kedua sanksi tersebut menjerat perusahaan atau lembaga sekaligus pemiliknya di waktu yang bersamaan.

Padahal, pelanggaran pada pasal tersebut tidak termasuk pelanggaran yang pasti menimbulkan kematian.

“Mungkin ini bisa terjadi karena ketergesa-gesaan selama proses penyusunan UU Ciptaker,” tuturnya.

Bukhori berpendapat pembahasannya saat itu dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI secara terpisah dari PKS, khususnya terkait sanksi pidana pada pasal 125 dan 126 UU Nomor 8/2019 dengan menambahkan batas waktu lima hari.

Baca Juga: Sinopsis Film Max Steel, Aksi Super Hero Bertenaga Turbo di Bioskop Trans TV Malam Ini

“Pada mulanya, Fraksi PKS mencermati pasal 68 yang merupakan concern utama kami, yakni terkait syarat PPIU yang harus kami pastikan adalah WNI dan muslim sebagaimana dalam UU No. 8/2019,” katanya menjelaskan.

Ia menambahkan, dalam draf RUU versi 1029 halaman, pemerintah secara gegabah menghapuskan syarat muslim dan WNI tersebut dan menggantinya dengan klausul persyaratan yang ditetapkan pemerintah pusat.

Dengan demikian, Fraksi PKS bersikeras untuk mempertahankan syarat semula sampai akhirnya berhasil terakomodir meskipun harus melalui proses pembahasan yang panjang di Baleg.

Kemudian, Bukhori menilai konstruksi berpikir untuk melakukan perlindungan bagi jemaah melalui regulasi baru tersebut sesungguhnya sudah baik.

Baca Juga: Marak Kegiatan Keagamaan dan Pernikahan, Harga Daging Ayam Potong di Palangkaraya Melonjak

Namun dengan munculnya potensi pasal kontroversial tersebut justru akan menimbulkan permasalahan baru.

“Saya menyarankan agar pasal pidana UU Ciptaker itu sebaiknya dicabut saja agar tidak membuka ruang spekulasi bagi para penegak hukum ke depannya,” ujarnya.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah