PR DEPOK - Masyarakat Jalan Tol Indonesia (MJTI) menilai penerapan biaya administrasi transaksi (merchant discount rate/MDR) dalam pemrosesan transaksi uang elektronik sebesar 0,5 persen di jalan tol tidak berdasar dan kontraproduktif dengan pembangunan.
Penilaian itu disampaikan oleh Ketua MJTI, Untung Kurniadi pada Rabu, 31 Maret 2021. Untung juga menyebut bahwa kebijakan tersebut perlu dievaluasi dan direvisi.
“Ini kebijakan yang tidak berdasar dan kontraproduktif dengan pembangunan. Harus segera dievaluasi untuk direvisi,” kata Untung Kurniadi seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara pada Rabu, 31 Maret 2021.
Lebih lanjut, menurut Untung, penerapan tarif MDR akan berdampak pada masuknya biaya tersebut ke dalam dalam investasi Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) yang pada akhirnya akan dibebankan kepada masyarakat.
Dia berharap, Keputusan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) No. 23/1/KEP.DpG/2021 tentang penetapan skema harga merchant discount rate (MDR) dalam pemrosesan transaksi uang elektronik berbasis cip (chip based) untuk reguler sebesar 0,5 persen dapat direvisi.
“Kebijakan ini tidak pro pembangunan dan tidak mendukung kebijakan Pemerintah dalam menerapkan sistem tol nirsentuh di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Keputusan Deputi Gubernur BI No. 23/1/KEP.DpG/2021 tentang penetapan skema harga MDR ditandatangani oleh Deputi Gubernur BI Sugeng tanggal 19 Februari 2021. Ketentuan ini diberlakukan sejak 1 Maret 2021.
Aturan ini mengatur distribusi skema harga MDR untuk transaksi uang elektronik berbasis cip menjadi pendapatan pengelola (acquirer) yang merupakan penerbit uang elektronik chip based.
Dengan kata lain, bank bisa memperoleh pendapatan dari transaksi uang elektronik berbasis cip atau kartu. Sampai sekarang sebanyak empat kartu uang elektronik yang diterbitkan oleh bank yakni e-money oleh Bank Mandiri, Flazz oleh BCA, TapCash oleh BNI dan Brizzi oleh Bank BRI.
Bisnis pembayaran jalan tol saat ini memang hanya melibatkan dua pihak yaitu penerbit uang elektronik dan BUJT sebagai merchant.
Penerbit menanggung sebagian biaya infrastruktur yang telah dikeluarkan BUJT supaya uang elektronik bisa diterima sebagai alat transaksi. Infrastruktur yang dimaksud seperti pembangunan gardu eletronik, mesin pembaca kartu, dan sebagainya.
Namun, penerbit memperoleh pendapatan dari dana menganggur (floating money) saldo uang elektronik dan komisi isi ulang saldo. Semua uang yang ditransaksikan oleh masyarakat pengguna uang elektronik berbasis cip ini akan diterima oleh merchant.
Berdasar pada catatan Bank Indonesia, sebanyak 90 persen uang elektornik berbasis cip dikontribusikan dari pengguna tol. Namun, angka ini hanya 9 persen atau masih kecil dibandingkan uang elektronik berbasis server.
Sementara itu, volume transaksi uang elektronik mencapai Rp3,781 miliar dengan nilai mencapai Rp 163,433 triliun sampai Oktober 2020.***