Keberadaan kujang sebagai identitas Sunda kini sebatas totem di lalu lintas jalanan yang cepat atau di banyak simbol pemerintahan yang tengah fokus memajukan peradaban. Dalam kondisi lemah cai yang makin larut oleh modernitas, segelintir tokoh masih berupaya menjaga nilai kehormatan kujang sebagai bilah-bilah pewaris tatanan Kasundaan. Semakin hari, posisi kujang semakin lemah. Eksistensinya dihadapkan pada syarat percepatan pembangunan bangsa yang memerlukan logika dan akal sehat. Perlakuan istimewa pada fisik kujang akan mudah mengarah pada takhayul, klenik, hingga pemujaan spirit penghasil kesia-siaan yang memperlambat kemajuan Jawa Barat. Di luar perspektif tersebut, rupanya masih ada tangan-tangan penjaga keistimewaan kujang. Sejumlah tokoh Sunda berupaya menempatkan keberadaaan kujang sebagai amanat yang mengingatkan kebesaran pengaruh Sunda, salah satunya adalah Budi Dalton. Di ruangan berukuran 3 m x 3,5 m, di lantai dua kediamannya, Budi menyimpan lebih dari seribu kujang dari berbagai jenis. Ruang kecil itu berkonstruksi kayu, mirip leuit, dengan barisan kujang yang tertata rapi. Sebagian besar koleksi kujang itu merupakan titipan tokoh hingga kabuyutan. ”Banyak orang yang menitipkan. Saya sudah tidak bertanya alasan mereka. Banyak orang desa yang sudah tidak tahu cara merawat ini. Saya tidak pernah menjual titipan ini, jadi mungkin terus dipercaya,” tutur Budi, yang juga pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan Bandung, saat ditemui beberapa waktu lalu.*