Mengapa Taliban Menang di Afghanistan? Pakar Beberkan Alasan Berikut

- 26 September 2021, 13:27 WIB
Taliban berjalan saat mereka merayakan gencatan senjata di distrik Ghanikhel di provinsi Nangarhar, Afghanistan 16 Juni 2018.
Taliban berjalan saat mereka merayakan gencatan senjata di distrik Ghanikhel di provinsi Nangarhar, Afghanistan 16 Juni 2018. /REUTERS/Parwiz

Dia menyimpulkan bahwa nilai-nilai sakral atau nilai-nilai yang mungkin religius atau sekuler, seperti Tuhan atau negara, selalu tidak dapat dinegosiasikan, artinya tidak dapat ditinggalkan atau ditukar dengan keuntungan materi.

Nilai-nilai sakral, menurut Atran adalah alasan bahwa sejak perang dunia kedua, kaum revolusioner dan pemberontak Taliban sering menang atas tentara negara dan pasukan polisi di Afghanistan.

Baca Juga: Taliban Gantung 4 Orang di Herat Afghanistan, Apa Penyebabnya?

Maka dari itu, faktor-faktor penggerak yang memotivasi tentara seperti gaji dan promosi, tidak sebanding dengan hal yang dianggap suci.

Terkait hal ini, Rob Johnson, yang memimpin Pusat Perubahan Karakter Perang di Universitas Oxford berpendapat bahwa pemerintah barat telah gagal mempelajari hal ini.

“Sungguh menyedihkan untuk mencerminkan bahwa, setelah empat perang baru-baru ini, Inggris menderita, pada dasarnya, empat kekalahan,” kata Rob Johnson, yang memimpin Pusat Perubahan Karakter Perang di Universitas Oxford. Ini pasti menimbulkan pertanyaan: siapa yang memimpin rekam jejak yang begitu mengerikan?,” ujaranya.

Baca Juga: Sentil Fahri Hamzah yang Dukung Giring, Said Didu: Tak Pantas Politisi Asal Nyerang Dihargai Seakan Hebat

Maka dari itu, menurut Atran kecenderungan politisi barat untuk bertahan dengan tanggapan yang tidak tepat, daripada mengubah taktik dan mengakui bahwa nyawa dan uang hilang sia-sia, sebaliknya telah menghasilkan kemenangan Taliban.

Selain Atran, seorang antropolog Universitas Oxford, Harvey Whitehouse yang turut mempertanyakan perjuangan kaum militan juga membenarkan hal tersebut.

Ia sebelumnya pernah menanyai pemberontak Libya, pasukan khusus Inggris, dan pejuang suku di Papua Nugini.

Halaman:

Editor: Yunita Amelia Rahma

Sumber: The Guardian


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah