Dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Daily Sabah, berdasarkan laporan Global Crisis Response Group on Food, Energy and Finance (GCRG) PBB, tercatat bahwa 69 negara dengan populasi 1,2 miliar terdampak perang Rusia-Ukraina.
Tidak hanya itu, ada krisis tiga dimensi bahwa jumlah negara yang menghadapinya adalah 25 di Afrika, 25 di Asia-Pasifik dan 19 di Amerika Latin dan Karibia.
Guterres lantas menunjukkan bahwa inflasi global telah meningkat, daya beli telah menurun, ekspektasi pertumbuhan telah jatuh, pembangunan telah terhenti dan ada risiko lingkaran setan inflasi dan resesi parah dalam pertumbuhan.
Jadi, ia menunjuk pada risiko stagflasi akibat perang Rusia-Ukraina ini.
Tahun lalu, ekonom terkenal AS Nouriel Roubini pertama kali mulai menyebutkan stagflasi, tetapi secara internasional mengamati bahwa semakin banyak ekonom tidak mengabaikan risiko stagflasi.
Baca Juga: Apa Itu Itikaf dan Apa Saja Syaratnya? Simak Penjelasan Lengkapnya di Sini
Meski demikian, beberapa ekonom ortodoks neoliberal terkenal, dengan menakutkan mengabaikan ketidakpastian dan kehancuran yang ditimbulkan oleh pandemi dan perang Rusia-Ukraina, menyatakan bahwa bank sentral sangat perlu menaikkan suku bunga untuk mengekang risiko kenaikan inflasi.
Akan tetapi, langkah tersebut tidak akan mampu mematahkan dampak meningkatnya gelembung inflasi global terhadap perekonomian nasional dalam jangka pendek hingga akhir tahun 2022 dan akan tetap memperhitungkan risiko stagflasi.
Guterres, di sisi lain, mendesak negara-negara untuk menggunakan krisis sebagai peluang untuk mempercepat transisi ke energi terbarukan.