Margonda Nama Pusat Kota Depok yang Ternyata Pejuang Asli Cimahi

16 Januari 2023, 06:22 WIB
Trotoar Jalan Margonda, Kota Depok. /Pikiran Rakyat Depok/Bintang Pamungkas/

PR DEPOK - Margonda mungkin satu nama yang tidak asing di telinga warga Depok ternyata punya kisah yang cukup menyayat hati.

Namanya kini melegenda, Margonda tercantum sebagai nama jalan yang menjadi pusat keramaian, ekonomi dan pemerintahan Depok.

Kisahnya sayup-sayup meredup, kenangan sang pejuang kemerdekaan masih simpang siur, tatkala sang anak mencoba mengingat kisahnya.

Jofiantini, merupakan putri dari Margonda ia lahir di Bogor, 24 Juni 1945, samar dalam ingatannya sosok sang ayah karena berpisah di saat usianya masih satu tahun.

Baca Juga: 5 Rekomendasi Tempat Nongkrong di Depok, Cocok untuk Ngopi Bareng Sahabat

Meski Margonda menjadi nama jalan di Kota Depok, ternyata ia kelahiran Baros, Cimahi 1918, terlahir dari orangtua yang berkecimpung sebagai petani.

Mergonda merupakan anak kelima dari enam bersaudara, ia pindah dari Cimahi dan bekerja di Bogor sebagai analis Kimia.

Tak hanya itu saja, Margonda juga sempat mengikuti sekolah penerbangan.

Margonda menikah dengan Maemunah di Bogor, dengan dikaruniai satu anak perempuan, bernama Jofiantini.

Baca Juga: 7 Kolam Renang di Depok, Cocok untuk Wisata Libur Akhir Pekan Anda

Pertemuan pertama Margonda dan Maemunah terjadi di sebuah organisasi kepemudaan Paguyuban Pasundan bernama Jasana Obor Pasoendan (JOP).

Fakta menarik lainnya, putri semata wayang mereka diambil dari organisasi tempat mereka berjumpa.

Sang Istri, Maemunah merupakan perempuan kelahiran Bogor tahun 1919, ia tinggal di Gang Slot dekat Stasiun.

Maemunah merupakan anak sulung dari 5 bersaudara memiliki latar belakang pendidikan sekolah kepandaian Putri di Jakarta.

Pasangan itu menikah selama dua tahun karena Margonda gugur di medan perang.

Baca Juga: Asal Nama Depok dan Sejarah di Balik Kota Belimbing

Margonda turun saat mendengar kumandang Proklamasi 1945, ia ikut bertempur bersama pasukan sekutu melawan Belanda.

Depok saat itu merupakan daerah istimewa karena memiliki otonomi khusus sebagai tahan partikelir di bawah Belanda.

Depok dianggap tak mau tunduk kepada pemerintah republik yang baru merdeka. Akibatnya, Depok kena gempur berbagai laskar, Badan Keamanan Rakyat yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat dari berbagai penjuru.

Pada 11 dan 13 Oktober 1945 Depok diserang. Sebelumnya, aksi boikot dilakukan penduduk dengan menghalang-halangi pedagang menjual kebutuhan sehari-hari kepada orang-orang Depok yang dituding antek Belanda.

Baca Juga: Mengenal Tole Iskandar, Sosok Pejuang Lokal Depok yang Jatuhkan Pesawat Belanda

Pendudukan Depok mengundang serangan balik pasukan Sekutu yang membuat para pejuang dari unsur tentara dan laskar/badan pejuang terpukul mundur.‎

Dari cerita ibunya, Jofiatini menyebut Margonda berada di bawah pimpinan Ibrahim Adjie. Bila cerita itu benar, pemuda Baros itu dipastikan merupakan anggota BKR/TKR bukan bagian dari kelaskaran.

Dia memperkirakan, Margoda tewas pada 1946 atau setahun setelah aksi penggempuran Depok pada Oktober 1945.

Dalam surat pensiunnya, Margonda gugur dengan pangkat Letnan Satu (Lettu). Meski demikian, sang isteri selaku ahli waris justru meyakini Margonda meninggal dengan pangkat kapten.***

Editor: Rahmi Nurfajriani

Tags

Terkini

Terpopuler