Baik dokter dan tenaga kesehatan lain, kata Roy, seharusnya turun ke masyarakat secara konsisten mengedukasi apa itu DBD dan bagaimana cara pencegahannya.
"Sejauh ini, bergerak kalau sudah ditemukan kasus saja. Padahal, dari tahun ke tahun, jumlah kasus meningkat. Jadi, selama ini ngapain saja?," tanya Roy retoris.
Dia menambahkan, segala pedoman mencegah penyebaran DBD hanya berkutat pada teori. Dinkes tak sungguh-sungguh menerapkannya di lapangan.
"Seperti program 3 M--menguras, menutup, dan mendaur ulang barang bekas yang jadi sarang nyamuk--itu tak sampai ke warga karena minimnya edukasi yang sampai," tutur Roy.
Baca Juga: Bocah SD di Depok Terluka Setelah Gagalkan Pembegalan dengan Modus Dorong Motor
Hal lain yang luput adalah kurang sigapnya petugas di fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit umum daerah dan Puskesmas dalam merespons lonjakan pasien, yang tak jarang dampaknya menelantarkan pasien.
"Seharusnya di RSUD ataupun Puskesmas disediakan unit khusus yang melayani pasien DBD. Jadi, tak ada lagi cerita yang seharusnya dirawat, malah terlantar dengan alasan ruangan penuh. Kan mereka bisa saja carikan alternatif rumah sakit dengan catatan diurusi betul hingga dapat," katanya.
Terkait dalam pencegahan, dia menyoroti mengapa fogging baru terlaksana usai ditemukannya kasus. "Tak perlu ada yang kena DBD dulu, baru ada fogging. Kan ada datanya mana saja daerah yang rawan. Maka di situlah fogging dilakukan," tutupnya.***