Cegah Praktik Politik Uang dalam Pilkada, DPR Usulkan Dana Kampanye Dinaikkan hingga 3 Miliar

16 Desember 2020, 09:07 WIB
Ilustrasi Pilkada Serentak 2020. /Pikiran-Rakyat.com/Fian Afandi/

PR DEPOK - Anggota Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin mengusulkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, sumbangan dana kampanye direvisi untuk dinaikkan guna mencegah praktik politik uang dalam kontestasi Pilkada.

Sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari Antara, Zulfikar Arse Sadikin mengusulkan sumbangan dana kampanye dinaikkan, dari perseorangan sebesar Rp250 juta dan dari badan hukum swasta sebesar Rp2 miliar-Rp3 miliar.

"Saya menyarankan sumbangan dana kampanye dinaikkan, dari perseorangan dari Rp75 juta menjadi Rp250 juta dan dari badan hukum swasta dari Rp750 juta menjadi Rp2 miliar-Rp3 miliar. Namun, harus diimbangin dengan pembatasan spending dana kampanye," kata Zulfikar.

Baca Juga: Akui Belum Ada Rencana Diplomatik dengan Israel, DPR: Indonesia Sepenuhnya Bersama Rakyat Palestina

Dalam Pasal 74 Ayat (5) UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan sumbangan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) dari perseorangan paling banyak Rp75 juta dan dari badan hukum swasta paling banyak Rp750 juta.

Zulfikar menerangkan usulannya menaikkan besaran sumbangan dana kampanye itu rasional karena sesuai dengan perkiraan kebutuhan kampanye pasangan calon (paslon) di Pilkada.

Namun, lanjut dia, pengeluaran dari dana kampanye tersebut juga harus dibatasi agar paslon tidak mengeluarkan sebesar-besarnya dana kampanye tersebut.

Baca Juga: Jadi Negara Ketiga, Kanada Suntikkan Dosis Pertama Vaksin Covid-19 Pfizer ke Pekerja Panti Jompo

"Salah satu praktik curang karena dari sisi pendanaan Pilkada tidak ada batasan pengeluaran dana kampanye sehingga paslon menggunakan sebesar-besarnya dana tersebut untuk keperluan kampanye," tuturnya.

Sebenarnya, kata Zulfikar, ada hitungan rasional dana yang dibutuhkan ketika seseorang ingin maju dalam kontestasi pilkada sehingga yang bersangkutan tidak perlu berbuat curang.

Kecurangan tersebut seperti menggunakan politik uang, politik sembako sehingga dibutuhkan pembatasan spending dana kampanye.

Baca Juga: Sudah Prediksi Indonesia Lawyers Club Diberhentikan, Rocky Gerung: Pemerintah Sedang Panik

Ia mencontohkan, saat kampanye tatap muka dengan mendatangkan sebanyak 100 orang, bisa dihitung berapa biaya untuk konsumsi dan transportasi, lalu dikalikan berapa kali kampanye tersebut akan dilakukan.

"Saat kampanye tatap muka bisa dihitung berapa biayanya, misalnya mendatangkan 100 orang dengan memberikan konsumsi dan mengganti ongkos transportasi, lalu dikalikan berapa kali harus kampanye sehingga akan diperoleh angka yang lebih rasional," ucapnya.

Politikus Partai Golkar itu menjelaskan bahwa revisi UU Pemilu sedang dalam proses harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, dan Komisi II DPR berupaya agar Pilkada digabungkan dalam UU tersebut.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Hari Rabu, 16 Desember 2020: Aries, Mulailah Mendaki!

Hal itu, menurut dia, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55 tahun 2019 bahwa Pilkada merupakan bagian dari pemilu sehingga membarengkan pelaksanaan pemilihan umum presiden dan pemilu anggota legislatif dengan Pilkada.

"Saat ini revisi UU Pemilu sedang diharmonisasi, memang mau menyatukan Pilkada ke pemilu karena putusan MK memastikan tidak ada rezim pemilu dan Pilkada. Semua masuk rezim pemilu, tinggal pelaksanaannya di tingkat nasional dan daerah," ujarnya.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler