PTUN Tolak Gugatan Supres Soal RUU Cipta Kerja pada April, YLBH Temukan Beberapa Kejanggalan Berikut

22 Oktober 2020, 22:46 WIB
Ilustrasi UU Cipta Kerja. /RRI

PR DEPOK - Pada 30 April 2020, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH) bersama Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Merah Johansyah dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Perkumpulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggugat Surat Presiden (Surpres) terkait pengajuan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Namun, Pengadilan tata Usaha Negara (PTUN) menolak gugatan Supres Joko Widodo ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut.

Penolakan itu ditanggapi oleh Pengacara publik LBH Jakarta, Charlie Albajili yang tergabung dalam tim Advokasi Penggugat.

Baca Juga: Rencana Digelar Mulai November, Pemkot Depok Jalani Simulasi Vaksinasi Didampingi Ahli Vaksin UI

Charlie mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan beberapa kejanggalan dari putusan hakim tersebut.

Kejanggalan yang pertama, katanya, putusan tidak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.

"Petikan amar putusan hanya dicantumkan pada sistem e-court PTUN Jakarta tanpa melampirkan salinan putusan. Hingga kini, para penggugat tidak dapat mengetahui putusan utuh dari PTUN Jakarta serta pertimbangannya," kata Charlie dalam keterangan tertulis pada Kamis, 22 Oktober 2020.

Baca Juga: Jadi Negara ke-3 dengan Pertumbuhan Populasi Internet Terbesar, Bamsoet Minta Warganet Tangkal Hoaks

Kemudian, tambahnya, kejanggalan kedua yaitu para penggugat tidak mendapatkan salinan terkait putusan saat tanggal pembacaan putusan.

"Hal ini sangat merugikan para penggugat, sebab tidak dapat mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam mengambil putusan," ujar Charlie seperti dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari RRI.

Tak hanya itu, tim advokasi juga mencatat, para penggugat dalam pendaftaran gugatan diwajibkan untuk menggunakan sistem administrasi perkara e-court tanpa dasar hukum yang jelas.

Baca Juga: Ribuan Siswa di Cianjur Putus Sekolah, Disdik Sebut Penyebabnya Dipicu oleh Masalah Ekonomi Keluarga

"Padahal saat itu kami para penggugat sudah datang langsung untuk mendaftar secara konvensional," ujarnya.

Meski dalam kondisi pandemi Covid-19, jika mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1 Tahun 2019 maupun Surat Edaran MA 1/2020, menurut Charlie, tak ada ketentuan yang mewajibkan pendaftaran gugatan dengan menggunakan e-court.

Hal tersebut karena penggunaan sistem e-court hanya dapat dilakukan atas persetujuan para pihak.

Baca Juga: KPK Menahan Dirut PT PAL Budiman Saleh, Disebutkan Terkait Dugaan Korupsi PT IDI

"Kejanggalan lainnya, majelis hakim tak kunjung memberikan keputusan permohonan penundaan berlakunya Surpres hingga putusan akhir. Padahal kami juga mengajukan permohonan penundaan berlakunya Surpres sebelum ada putusan hukum berkekuatan hukum tetap," kata Charlie menambahkan.

Menurutnya, hakim seharusnya bisa memberi keputusan penundaan tersebut sejak pemeriksaan dan sebelum pembuktian.

Namun, meski telah diminta berkali-kali, saat ini majelis hakim terus berdalih akan mempertimbangkannya.

Baca Juga: PDAM Depok Akan Hentikan Pasokan Air Bersih Awal Pekan Depan Selama 24 Jam

"Menurut para penggugat, majelis hakim PTUN Jakarta dapat mencegah pembahasan ugal-ugalan RUU Cipta Kerja di DPR RI dengan penundaan tersebut. Akan tetapi tidak dilakukan," ujar Charlie.

Selain itu, dia juga menjelaskan bahwa dalam proses persidangan, Presiden RI selaku tergugat menghadirkan ahli administrasi negara, Yos Johan Utama serta Rektor Universitas Diponegoro (Undip).

Para penggugat pun menyatakan keberatan atas hal tersebut, karena Yos masuk dalam Satgas Omnibus Law yang dibentuk Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Baca Juga: PB IDI Imbau Menkes Terawan Agus Putranto tak Tergesa-gesa Soal Proses Vaksinasi Covid-19

Keterlibatan itu dinilai membuktikan adanya konflik kepentingan ahli dalam memberi keterangan yang objektif atas keahliannya.

Namun, majelis hakim menolak keberatan tersebut dan mengizinkan ahli memberikan keterangan saat itu.

Lalu, yang terakhir, tim advokasi menilai majelis hakim dan tergugat.

Pada awal persidangan, tergugat meminta adanya penundaan sidang hingga dua pekan dengan alasan Presiden Jokowi belum memberi surat kuasa pada Jaksa Pengacara Negara.

Baca Juga: PJJ Didominasi Tugas yang Menumpuk, Disdik Bandung Sebut Siswa Merasa Bosan

Tak hanya itu, bahkan beberapa keputusan penundaan sidang e-court telah diputuskan hakim tanpa memberikan kesempatan pada penggugat untuk menyampaikan tanggapan dan keberatan hingga, kalender persidangan disepakati para pihakpun pernah dikesampingkan.

Selain itu, bagi tim Advokasi, fakta bahwa pengesahan UU Cipta Kerja dilaksanakan sebelum putusan diberikan sangat mempengaruhi pertimbangan hakim.

"Pasalnya, jika UU telah disahkan, maka telah muncul kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji proses penerbitan suatu UU. Serta dengan mudah hakim PTUN dapat menolak memeriksa gugatan atas dasar tersebut," kata Charlie.

Baca Juga: Meningkatnya Islamofobia di Prancis, Dua Wanita Muslim Ditikam di Menara Eiffel

Adapun sidang putusan yang dilaksanakan pada Senin, 19 Oktober 2020 lalu, dalam situs SIPP PTUN Jakarta, perkara tersebut diadili oleh Sutiyono selaku Hakim Ketua dan dua hakim Anggota, Nelvy Christin dan Enrico Simanjuntak.

"Menyatakan gugatan para penggugat tidak diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard)" demikian bunyi amar putusan.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: RRI

Terkini

Terpopuler