Peneliti Sebut Harga Pangan Tahun Depan Berpotensi Naik Akibat Pandemi, Salah Satunya Daging Sapi

21 November 2020, 13:18 WIB
Ilustrasi beras, mie, dan kentang. /Conger Design/Pixabay
 
PR DEPOK - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan harga sejumlah komoditas pangan berpotensi mengalami kenaikan pada 2021 akibat pandemi Covid-19 yang belum bisa dipastikan waktu berakhirnya.
 
Berdasarkan pengalaman pada 2020, pemerintah mencatat di akhir April tahun ini, sejumlah provinsi mengalami defisit pada komoditas pangan, seperti beras, jagung, gula, cabai, bawang putih, bawah merah, dan telur.
 
Menurut Galuh penyebab defisit ini dikarenakan provinsi tersebut bukan merupakan penghasil utama dari komoditas-komoditas tadi.
 
Baca Juga: Cek Fakta: Disuntik Vaksin Tiongkok, Warga Zimbabwe Dikabarkan Alami Penyakit Kulit, Simak Faktanya
 
Selain itu, proses distribusi yang sempat terhalang akibat adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan berbagai kebijakan pembatasan lainnya.
 
"Saat ini, distribusi dan kesediaan sebagian besar pangan pokok di Indonesia memang sudah lebih stabil daripada sebelumnya"
 
"Akan tetapi, beberapa komoditas yang sebagian besar sumber ketersediaan berasal dari impor, seperti bawang putih, gula, daging sapi dan kedelai, diprediksi juga akan mengalami fluktuasi harga," kata Galuh dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari Antara.
 
Kesulitan dalam mengamankan impor daging sapi dapat kemungkinan meningkatkan kenaikan harga domestik, mengingat perayaan Idul Fitri pada 2021 juga akan berlangsung lebih awal.
 
Baca Juga: Jadwal Liga Inggris yang Tayang di TV Malam Ini, Pekan ke-9 Laga Perebutan Puncak Klasemen
 
Untuk itu, ketersediaan stok yang memadai sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan harga pangan, terutama komoditas yang tergolong pokok dan dan sumber ketersediaannya sebagian besar berasal dari impor.
 
"Rentetan peristiwa yang menandai fluktuasi harga komoditas pangan, terutama yang termasuk pada komoditas pokok dan ketersediaannya dipenuhi lewat impor, idealnya sudah bisa dijadikan parameter dalam mengambil kebijakan," ujar Galuh.
 
Sementara itu, menurut laporan World Food Programme, harga pangan dunia turun 4,3 persen di antara Februari dan Maret 2020 akibat adanya penurunan permintaan karena pandemi Covid-19.
 
Baca Juga: Tak Cukup Dipahami Secara Harfiah, Ma’ruf Amin: Alquran Harus Jadikan Individu Berpikir Moderat
 
Namun, harga beras justru tercatat mengalami kenaikan dikarenakan adanya stockpiling behavior atau perilaku menimbun yang dilakukan oleh masing-masing BUMN pangan negara-negara dunia.
 
Selain itu, hal tersebut juga karena adanya penutupan ekspor dalam memenuhi produksi domestik terlebih dahulu.
 
Tindakan inilah yang kemudian menyebabkan adanya ketidakseimbangan supply dan demand. 
 
Baca Juga: Cek Fakta: Habib Rizieq Dikabarkan Beri Petunjuk Paslon Pilihan dalam Pilkada Depok, Simak Faktanya
 
Hal itu di mana sejumlah negara berusaha mengamankan ketersediaan pangan dalam negeri dengan tidak melakukan ekspor dan tertutup pada impor.
 
Meski begitu, saat ini sudah banyak negara yang kembali membuka impor, hal ini patut untuk diwaspadai di tahun mendatang.
 
Lebih lanjut, Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat bahwa harga komoditas pangan di tingkat internasional mulai kembali mengalami kenaikan sejak Mei hingga November 2020.
 
Baca Juga: Kabar Duka, Legenda Timnas Indonesia Ricky Yacobi Meninggal Dunia, Diduga Alami Serangan Jantung
 
Kenaikan itu banyak disumbang dari komoditas gula, sereal, dan minyak nabati.
 
Galuh menambahkan bahwa kenaikan harga pangan di tingkat internasional dapat pula berpengaruh pada harga dalam negeri.
Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler