PR DEPOK - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyatakan dalam proses hukum lembaga yang dipimpinnya tidak ingin ada lagi istilah ‘Jumat Keramat’ .
Firli Bahuri menyebut pihaknya akan membangun atau berusaha menghilangkan istilah 'Jumat Keramat' tersebut.
"Mohon maaf mungkin sekarang tidak ada lagi yang mendengar pengumuman tersangka hari Jumat, tidak ada lagi. Kenapa? Karena kami membangun bahwa 'Jumat Keramat' tidak ada," katanya dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara pada Rabu, 31 Maret 2021.
Untuk diketahui, istilah ‘Jumat Keramat’ digunakan bagi hari pemanggilan atau penahanan terduga dan terdakwa korupsi oleh KPK. Sehingga, biasanya terduga atau terdawa yang dipanggil hari Jumat akan langsung ditahan namun tetap melalui pemeriksaan.
Kejadian 'Jumat Keramat' diketahui juga menimpa Eks Ketum DPP Partai Golkar Setya Novanto yang ditahan KPK pada Jumat, 17 November 2017 lalu.
Kemudian, Sekjen DPP Partai Golkar Idrus Marham ditahan KPK pada Jumat, 31 Agustus 2018.
"Yang ada setiap hari itu keramat. Kenapa? Kami tidak ingin dikatakan kami menarget seseorang, pokoknya hari Jumat harus ada pengumuman tersangka, kami tidak," tuturnya.
Baca Juga: Update Persebaran Covid-19 Depok, 31 Maret 2021: 42.154 Positif, 39.037 Sembuh, 835 Meninggal Dunia
Firli mengemukakan sekarang pimpinan KPK mengumumkan penetapan tersangka ke publik setelah tim penyidik KPK melakukan penahanan tersangka. Penetapan ini dilakukan penyidik setelah memiliki alat bukti yang cukup.
"Karena tersangka ada setelah ada kecukupan alat bukti, nah untuk mencari alat bukti tentu kami melakukan penyelidikan dan penyidikan, mencari keterangan saksi, mengumpulkan alat bukti dengan itu kami berharap ada terangnya perkara pidana korupsi, setelah terang baru ketemu orangnya, baru kami umumkan," ucapnya.
Dengan demikian, KPK akan menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi setelah dia menjalani proses hukum dengan alat bukti yang cukup. Jadi,
"Kami tidak ingin lagi mengumumkan si A terlibat korupsi tapi lama prosesnya, menunggu lama. Kalau seseorang kami umumkan sebagai tersangka korupsi, setidaknya anak, istri, orang tua, handai tolan, keponakannya mereka juga ikut terpenjara, juga ikut menerima hukuman. Itu kami tidak ingin," ujar Firli Bahuri.
Sementara itu, dalam program ini KPK akan menggunakan pendekatan ilmu psikologi untuk memetakan narapidana asimilasi. Kebijakan ini berupa penggunaan metode komunikasi dua arah, pengenalan kepribadian, analisis gesture, vibrasi suara, dan goresan tulisan.
Dengan pemetaan asimilasi diharapkan menghasilkan narapidana yang siap untuk dilibatkan dalam program antikorupsi.***