Maria Walanda Maramis, Kartini dari Minahasa yang Dirikan Sekolah untuk Kaum Wanita

- 21 April 2020, 10:35 WIB
POTRET Maria Walanda Maramis pendiri PIKAT*
POTRET Maria Walanda Maramis pendiri PIKAT* /Unri/

PIKIRAN RAKYAT - Di perayaan hari Kartini tanggal 21 April ini, bukan hanya sosok Raden Ajang Kartini saja yang menyuarakan emansipasi wanita. Indonesia juga mengenal sosok Maria Walanda Maramis yang dikenalkan oleh TVRI pagi ini dalam program belajar dari rumah untuk tingkat SMA dan sederajat.

Maria Walanda Maramis adalah anak bungsu dari tiga bersaudara yang lahir pada 1 Desember 1872 di desa Kema wilayah Pesisir Timur Minahasa, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara.

Maria Walanda dikenal sebagai sosok pejuang emansipasi wanita di Minahasa, saat itu, adat pendidikan Minahasa masih tak seimbang, hanya anak laki-laki saja yang boleh meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Dia mendirikan sebuah organisasi yaitu Perkumpulan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) yang bertujuan menjadikan perempuan khusus Minahasa menjadi perempuan yang terampil dan cerdas.

Baca Juga: Ilmuwan Sebut Darah dari Llama Bisa Jadi Vaksin Virus Corona 

Latar Belakang Keluarga

Maria Walanda Maramis memiliki seorang kakak perempuan dan seorang kakak laki-laki. Keluarga mereka hidup sederhana, ayahnya hanya seorang pedagang.

Kehidupan Maria baik-baik saja, hingga sebuah wabah bernama kolera datang merenggut nyawa kedua orang tuanya.

Maria dan kedua saudara kandungnya kemudian dibesarkan oleh pamannya, Mayor Ezau Rotinsulu, seorang Kepala Distrik yang disegani para warga.

Baca Juga: Satelit NASA Berhasil Menangkap Foto Jernih saat Gunung Anak Krakatau Meletus 

Pendidikan Maria Walanda

Maria Walanda dan kakak perempuannya yaitu Antje dimasukkan ke Sekolah Melayu atau Sekolah Desa.

Sementara itu, Kakak Maria Walanda yaitu Andries Maramis dimasukkan oleh Pamannya ke sekolah Raja (hoofdenscool) di Tondano.

Siswa di sekolah Raja tersebut mempelajari lebih banyak ilmu pengetahuan daripada siswa Sekolah Desa. Lulusan sekolah itu juga diharapkan akan menduduki jabatan dalam pemerintahan pribumi.

Saat itu, akses pendidikan tinggi untuk perempuan Minahasa sangat tertutup, hanya ada Sekolah Rendah Belanda. Sekolah itu pun hanya dibuka untuk perempuan berkebangsaan Belanda.

Baca Juga: 100.000 Jemaah Lebih di Bangladesh Abaikan Lockdown untuk Hadiri Upacara Keagamaan 

Perbedaan kesempatan dalam bidang pendidikan antara Maria Walanda dengan Kakaknya Andires, menimbulkan banyak pertanyaan dalam pikiran Maria.

Maria Walanda merasa pendidikan yang dilakukannya di Sekolah Desa tidak membuat dirinya berkembang.

Adat Minahasa memaksa kaum perempuan harus menolong mengerjakan urusan rumah tangga seperti belajar memasak, menjahit, mencuci, dan menggosok pakaian.

Saat laki-laki boleh mengenyam pendidikan, sementara perempuan harus belajar di dapur, Maria merasa keadaan seperti ini merupakan ketidakadilan bagi kaum perempuan.

Apa yang terjadi di Minahasa merupakan dorongan awal dalam diri Maria Walanda untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan. Ia mengawalinya dengan mempelajari bahasa Belanda.

Baca Juga: Tanpa Protokol Kesehatan, Ribuan Warga Washington Unjuk Rasa Terkait Kebijakan #DiRumahAja 

Kehidupan Maria Walanda Setelah Menikah, Bertemu Guru dari Bangsa Belanda

Maria menikahi pria bernama Jozep Frederik Calusung Walanda, seorang guru yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Pendidikan Guru di daerah Ambon.

Saat itu Maria Walanda ikut tinggal bersama suaminya di sebuah desa kecil yang bernama Maumbi.

Maria adalah istri yang cerdas, ia bisa mengerjakan semua urusan rumah tangga mulai dari mencuci, memasak, melayani tamu, bahkan bahasa Belandanya mulai lancar.

Di desa Maumbi, Maria bertemu keluarga bangsa Belanda yaitu keluarga Ten Hove yang merupakan pendeta penyebar agama Protestan.

Baca Juga: Bantu Tangani Pandemi Corona, ITB Kembangkan Kabin Sterilisasi untuk Masker N95 

Ibu Ten Hove sering bertanya tentang adat istiadat dan kebudayaan Minahasa, sebaliknya, Maria sering belajar tentang sopan santun, hak, dan kewajiban seorang perempuan padanya.

Ibu Ten Hove mengajari Maria tentang ilmu kesehatan, ilmu mendidik anak, cara memelihara rumah, ilmu disiplin dan ketertiban, ilmu keterampilan perempuan, dan ilmu lainnya.

Saat itu, cita-cita Maria adalah mengajarkan ilmu yang ia dapatkan dari Ibu Ten Hove pada perempuan-perempuan di Desanya, anak-anaknya, bahkan kepada seluruh perempuan berdarah pribumi.

Baca Juga: Kerja Sama Kominfo dengan Polri Berbuah Hasil, 89 Pembuat dan Penyebar Hoaks Segera Dibui 

Ibu Ten Hove Kembali ke Belanda

Perginya guru Maria membuat ia pindah ke Kota Manado. Buah pernikahannya dengan Jozep adalah tiga anak perempuan dan satu anak laki-laki namun telah meninggal.

Di Manado, suami Maria, Jozep menjadi guru di sekolah rendah Belanda yakni Holland Indish School.

Anak perempuan Maria juga diberikan kesempatan untuk sekolah di sana, walaupun banyak drama terjadi saat memperjuangkan anak-anaknya bersekolah sana, bahkan Jozep sempat dipecat.

Selanjutnya, kedua anak Maria Walanda melanjutkan pendidikan ke sekolah MULO di Batavia.

Baca Juga: Remdesivir, Mantan Kandidat Obat Ebola Terbukti Ampuh Sembuhkan Pasien COVID-19

Keberhasilan Maria Walanda melalui Sekolah PIKAT

Maria Walanda membuat organisasi Perkumpulan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada tanggal 8 Juli 1917 di Manado Minahasa.

Layaknya R.A Kartini, Maria Walanda juga sering mengirimkan karya tulisnya ke koran, salah satu karyanya "cahaya siang".

Maria menyalurkan kemampuannya dengan mendirikan Sekolah Kerumahtanggaan di Minahasa dengan kerja sama dari anggota pengurus PIKAT.

Namanya Sekolah PIKAT atau Sekolah rumah tangga di disebut dengan Huishoudschool.

Baca Juga: Berawal dari Keluarga Pedagang, 17 Orang Terinfeksi Virus Corona di Pasar Padang 

Tujuan dari Sekolah ini adalah untuk dapat mendidik kaum perempuan Minahasa, bukan hanya memiliki pengetahuan tetapi juga terampil, baik menjaga diri sendiri bagaimana cara hidup sehat, untuk lingkungan, termasuk kesiapan mentalnya, baik jasmani maupun rohani sebelum berumah tangga.

Ia pun juga mendorong agar perempuan Indonesia mendapatkan hak yang sama dengan kaum laki-laki di bidang pendidikan bahkan sampai Sekolah ke Jawa.

Pada saat tubuhnya semakin lemah, Ibu Maria Walanda membisiki Ny. Sumolang yang merupakan pengurus PIKAT dan kata-kata terakhirnya adalah “Jagalah dan peliharalah baik-baik, anak bungsuku PIKAT”.

Baca Juga: Di Tengah Keterbatasan Alat, 7 Pasien Positif Virus Corona di Jayapura Berhasil Sembuh 

Mengenang Maria Walanda

Setiap 1 Desember, banyak orang yang memperingatinya sebagai Hari Ibu Walanda Maramis.

Google juga mengubah tampilan berandanya berisi doodle Ibu Maria Walanda pada 01 Desember 2018.

Saat ini, nama Maria Walanda banyak digunakan untuk berbagai nama tempat untuk mengenangnya, misalnya nama jalan Walanda Maramis yang berada di pusat kota Manado.

Selanjutnya, dibuatkan pula sebuah patung Ibu Maria Walanda yang sedang menggandeng anak perempuan yang letaknya berada di pusat kota Manado.

Selain itu, nama Ibu Maria Walanda digunakan untuk Rumah Sakit Umum Daerah Minahasa yang namanya menjadi RSUD Maria Walanda Maramis.***

Editor: M Bayu Pratama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x