Diketahui para siswa tersebut menggelar gerakan yang menyapu sekolah-sekolah menengah Thailand dan gerakan tersebut dijuluki Siswa Buruk oleh para pemimpinnya.
Baca Juga: Hindari Lonjakan Covid-19, Tiongkok Luncurkan Program Vaksinasi Massal Akhir September
Untuk diketahui seorang aktivis mahasiswa bernama Netiwit Chotiphatphaisal menulis pengalamannya selama di sekolah menengah, buku tersebut ia beri judul Siswa yang Buruk dalam Sistem Pendidikan yang Sangat Baik.
Lebih lanjut, selain mendukung tujuan yang lebih luas dari protes anti-pemerintah, gerakan yang dilakukan oleh pelajar sekolah menengah tersebut ditargetkan untuk mendapatkan ekspresi diri bagi siswa melalui penghapusan peraturan yang mereka anggap kuno.
Selain itu, sistem pendidikan Thailand dinilai masih mengusung Tradisional, dimana lagu kebangsaan dimainkan pada upacara pagi, peraturan seragam, deportasi ketat dan siswa bahkan diharapkan tidak mempertanyakan otoritas yang berlaku.
Baca Juga: Hadapi Kuartal Keempat Akhir Tahun, Zilingo Beri 5 Saran Bagi Pebisnis
Diketahui seorang kritikus menilai bahwa sistem sekolah yang diterapkan di negaranya lebih ditujukan untuk kepatuhan daripada pendidikan.
Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa Thailand diketahui jauh di belakang Singapura dengan performa terbaik dan juga tertinggal dari negara tetangga Malaysia dalam membaca, matematika, dan sains.
Kaum konservatif negara tersebut bahkan dikabarkan sangat marah ketika beberapa siswa mengenakan pita putih dan memberikan penghormatan tiga jari Hunger Games selama melantunkan lagu pagi untuk mendukung gerakan pro-demokrasi, serta salut telah menjadi simbol seruan untuk demokrasi sejak Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha pertama kali mengambil alih kekuasaan dalam kudeta 2014, dan pita putih merupakan perlambang dari kemurnian para siswa.
Baca Juga: Bentuk Efisiensi, Pemerintah Tetapkan Perpanjangan Masa Berlaku Paspor Jadi 10 Tahun