Ibarat Tegur Perilaku Flexing Mario Dandy, Ini Ungkapan Tokoh Sanwani dalam Film 'Warkop DKI Gengsi Dong 1980'

28 Februari 2023, 07:00 WIB
Ini ungkapan Sanwani dalam film 'Warkop DKI Gengsi Dong 1980', ibarat tegur perilaku Flexing Mario Dandy. /TikTok/@mariodandys

PR DEPOK - Selama beberapa hari ini publik dikejutkan dengan aksi kekerasan Mario Dandy Satriyo, anak petugas pajak di Jakarta Selatan yang menyerang David anak Pengurus Pusat GP Ansor hingga terbaring di rumah sakit.

Bahkan, perilaku keji anak Rafael Alun Trisambodo terhadap anak Jonathan Latumahina itu direkam oleh rekannya dengan menggunakan kamera telepon genggam. Kini video tersebut viral di media sosial.

Dalam video tersebut selain terlihat aksi brutalnya terhadap remaja Pesanggrahan, Jakarta Selatan terdengar suara samar-samar Mario yang mengungkapkan keberaniannya terhadap hukum walaupun salah.

"Ga takut gue anak orang mati, lapor, lapor an***g," kata seorang pria dalam video tersebut.

Baca Juga: Jadwal Acara TV Selasa, 28 Februari 2023: ANTV, Trans 7, dan tvOne, Ada Film India 'Thoda Pyaar Thoda Magic'

Selain memiliki bakat sadis, ternyata Anak pejabat juga memiliki kerap flexing atau pamer barang-barang mewah. Kebiasaan flexing ini acap diekspresikannya di platform TikTok miliknya. Ia kerap kali memamerkan motor gede pabrikan Amerika Serikat (AS) Harley Davidson. Selain itu, juga memamerkan mobil pabrikan AS Jeep Rubicon berwarna hitam.

Bahkan, tindakan brutal dan flexingnya bukan hanya memicu warganet, melainkan juga menyita perhatian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Menurut salah satu anggota DPR-RI Kamrussamad kasus ini harusnya menyadarkan para pejabat dan keluarganya untuk tak sewenang-wenang karena memiliki kekuasaan dan uang.

"Bukan hanya pejabatnya, tapi keluarganya pun harus memiliki etika yang sama di dalam bermasyarakat sehingga dia tidak merasa superior karena keluarga pejabat banyak uangnya, punya jabatan, punya kekuasaan dan kewenangan sehingga sewenang-wenang menggunakan kekerasan," katanya.

Peristiwa ini flexing dan brutalitas oleh Mario Dandy dengan latarnya sebagai anak orang kaya mengingatkan sebuah film lawas Warkop DKI Prambors Gengsi Dong besutan Nawi Ismail 1980.

Baca Juga: Kemenkeu dan KPK Gelar Pertemuan Bahas Klarifikasi LHKPN Mantan Dirjen Pajak Rafael Alun Trisambodo

Film Gengsi Dong melibatkan nama-nama besar dalam blantika film nasional seperti Zainal Abidin, Rina Hashim, M. Panji Anom, Camelia Malik, Rahayu Effendi, Dono, Kasino dan Indro.

Film ini menceritakan seorang anak saudagar tembakau kaya di desanya Raden Slamet (Dono) yang lulus ujian masuk Universitas Hayam Wuruk (UHM) di Jakarta.

Dengan diantar oleh rombongan jatilan dan pesawat carteran ayahnya Slamet sampai dengan selamat di Jakarta. Singkatnya, Slamet baru sampai di UHM langsung berkenalan dengan Sanwani/Iwan (Kasino) anak pengusaha bengkel kecil di Simprug Jakarta Selatan, tetapi menutupi identitasnya dengan narasi sebagai anak Menteng, Jakarta Pusat.

Setelah itu, Slamet dan Sanwani berpapasan dengan Rita (Camelia Malik) dan Paijo/Joy (Indro). Paijo adalah anak orang kaya. Ayahnya adalah seorang pengusaha agen minyak swasta. Singkat cerita, mereka bertiga terlibat dalam kompetisi merebutkan cinta Rita, anak Prof. Dr. Ir. Handoko, SH (Zainal Abidin), Guru Besar Ekonomi di UHW.

Baca Juga: KUR BRI 2023 Dibuka Maret? Simak Info dan Syarat Ajukan Pinjaman di Sini

Kompetisi cinta tersebut kerap diwarnai dengan flexing atau memamerkan barang-barang mewah dan kekerasan fisik. Maklum kisah cinta itu bersemi di tengah bangsa yang sedang sejahtera dan giat membangun di bawah rezim keamanan. Michael Vatikiotis dalam Indonesian Politics under Soeharto (1997) menggambarkan bahwa pada periode 1970-81 Indonesia sebagai eksportir minyak dan gas mendapat untung berkali-kali lipat sebagai akibat dari naiknya harga minyak dunia.

Alhasil, dengan bom keuntungan ini secara dinamis melahirkan banyak orang kaya dari sektor swasta karena derasnya aliran modal asing saat itu sehingga muncul banyak orang kaya.

Oleh sebab itu, karena mereka berasal dari lingkungan keluarga yang meiliki relasi kuasa, khsususnya Paijo dan Slamet kerap melakukan flexing baik dalam lingkungan pertemanan maupun kompetisi memperebutkan Rita.

Mereka bertiga kerap terjebak dalam relasi flexing dalam memperebutkan Rita seperti beradu kepemilikan mobil, pengetahuan tentang panganan Barat, dan residensial elite di Jakarta.

Baca Juga: Cara Atkfikan Izin Lokasi Kartu Prakerja untuk Login dashboard.prakerja.go.id

"Ya, baru dua hari datang dengan pesawat carteran pribadi," kata Slamet kepada Sanwani dalam perkenalan.

"Kalau kaya di desa, jangan pamer kekayaan di kota. Mobilnya situ merck apa?" kata Paijo kepada Slamet.

Kedua percakapan pendek tersebut menyiratkan bahwa adanya gesekan imajinasi flexing antara warga kota dengan desa. Meskipun berbeda, tetapi sikap flexing mereka berpangkal pada hal serupa seperti kekayaan orang tua dan akses terhadap alat produksi serta politik.

Flexing yang ada di dalam film Warkop DKI Gengsi Dong tidak hanya berkisar pada gaya hidup tersier kaum elite Jakarta, melainkan juga flexing kekerasan fisik yang kerap ditonjolkan oleh Paijo.

Baca Juga: Jelang Konser NCT Dream di Indonesia, Benarkah akan Ada DREAMzone? Berikut Infonya

"Lelaki yang potongannya kayak TEKAB (Tim Khusus Anti-Bandit) siapa sih namanya?," tanya Slamet ke Sanwani.

"Heh semprul, tukang sabot, enak lu ya. Kamu sudah berani ya main serobot-serobotan. Ga sportif, ga fair, tak beri kowe," kata Paijo sambil menggertak dan ancam ke Slamet.

"Belum tahu gue anak siapa," kata Paijo ke Slamet.

Sejak awal Slamet sudah segan terhadap Paijo dengan gaya berpakaiannya yang seperti intel dan petantang-petenteng seperti jagoan. Ditambah lagi, Paijo cenderung intimidatif terhadap yang lemah dan miskin di bawahnya. Bahkan, Rita pernah berkomentar bahwa Paijo memiliki gaya berjalan seperti tukang pukul.

Baca Juga: Ditumbangkan Barito Putera, Luis Milla ajak Persib Bandung Bangkit dan Fokus ke Laga Kontra Persija

Ini menunjukkan selain memiliki akses ekonomi dan politik, Paijo juga memiliki akses terhadap keamanan dan hukum.

Pada Rezim Orde Baru akses terhadap politik dan pertahanan-keamanan menjadi keistimewaan tersendiri masyarakat elite era itu. Secara konkret, bisa dilihat dalam kasus penembakan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) Rene Conrad yang melibatkan sejumlah anak-anak petinggi. Peristiwa tersebut membuat Kapolri Jenderal Hoegeng terjungkal dari pucuk pimpinan Polri dan mengorbankan seorng polisi rendahan demi menjaga kekuasaan senyap.

Dengan demikian, perilaku flexing bukan sebatas masalah moralitas pribadi, melainkan masalah sistemik yang melibatkan kekerasan struktural dan budaya.

Pada akhirnya, Sanwani korban dari rezim pembangunan dan keamanan kelelahan juga dalam mengikuti gaya hidup flexing antara Paijo dan Slamet. Sejak awal, dia bukan dari kalangan elite, orang tuanya hanya memiliki bengkel kecil di Simprug dengan modal sedikit dan minim akses terhadap kekuasaan.

Baca Juga: Prakirakan Cuaca Depok 28 Februari 2023, Besok: Waspada, Hujan Intensitas Sedang Mengguyur Sepanjang Hari

"Ah, udeh, ga usah lo pikirin. Memang begitu anak orang kaya.Lagunya suka tengil, kayak duit bapaknya halal aja," kata Sanwani kepada Slamet sedang makan bakso.

"Sompret tuh anak, kayak dia aja yang kebagusan," kata Sanwani kepada Slamet saat makan bakso.

Tampaknya, ritual makan bakso merupakan momen katarsis sekaligus kritis bagi Sanwani atas ketidakadilan pembangunan. Dalam momen tersebut, Sanwani kerap melontarkan sinisme profetiknya terhadap diskriminasi sosial, politik dan ekonomi yang terwujud dalam Paijo.

Tidak sampai di situ, Sanwani juga menyerang mereka secara senyap dengan mengajak jalan Rita dengan uang dan identitas Slamet. Akhirnya, Slamet dengan Paijo berseteru di kantin akibat adu domba Sanwani, anak tiri rezim Orde Baru.

Baca Juga: Ramalan Zodiak untuk Sagitarius dan Capricornus Besok, 28 Februari 2023: Berpikirlah Positif

Akhirnya, kompetisi memperebutkan Rita dengan flexing tidak berbuah manis karena Prof. Handoko menjodohkan putrinya dengan seorang perwira pertama AURI, sebuah kemapanan dan wibawa yang sama sekali tidak dimiliki oleh mereka bertiga. Ingin tahu lebih lanjut, silahkan tonton film lawas ini di platform digital berbayar.***

Editor: Tesya Imanisa

Tags

Terkini

Terpopuler