PR DEPOK – Sekelompok peneliti baru-baru ini melakukan studi psikologi mengenai perasaan simpati orang yang terlahir kaya dengan orang miskin menjadi kaya.
Penelitian psikologi ini fokus untuk membandingkan perasaan simpati dua tipe orang kaya ini terhadap orang yang miskin.
Kebanyakan orang berasumsi bahwa rasa simpati orang-orang yang telah bangkit dari kemiskinan menjadi kaya lebih tinggi terhadap penderitaan orang miskin daripada mereka yang terlahir kaya.
Baca Juga: 11 Daerah yang Wajib Pakai Aplikasi MyPertamina Mulai 1 Juli 2022
Akan tetapi, berdasarkan hasil studi psikologi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Social Psychological and Personality Science, orang-orang yang telah berubah dari miskin ke kaya cenderung tidak bersimpati dengan perjuangan kemiskinan orang lain
Sebaliknya, orang yang terlahir kaya pada dasarnya lebih bersimpati.
Para peneliti mensurvei lebih dari 1.000 orang di Amerika Serikat dan menemukan bahwa mereka yang naik tangga ekonomi cenderung melihat mobilitas sosial lebih mudah daripada orang yang terlahir kaya.
Baca Juga: Live Score Wakil Indonesia di Laga 32 Besar Malaysia Open 2022: Anthony Ginting Lolos ke 16 Besar
Akibatnya, mereka kurang bersimpati dengan mereka yang tidak dapat mengikuti mereka.
"Ada berbagai macam cerita dan narasi budaya tentang orang kaya, seperti apa mereka dan bagaimana mereka berperilaku"
"Temuan kami menunjukkan bahwa tidak semua orang kaya mungkin sama. Apa yang tampaknya membuat perbedaan adalah bagaimana mereka menjadi kaya," kata penulis utama studi tersebut, Hyunjin Koo, dari University of California seperti dikutip Pikiranrakayt-Depok.com dari Daily Mail.
Baca Juga: Cek Nama Penerima PKH Tahap 3 2022 di Situs cekbansos.kemensos.go.id untuk Dapatkan BLT Anak Sekolah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta dalam kelompok bergerak ke atas berpikir lebih mudah untuk maju dan karena itu kurang bersimpati dengan mereka yang masih berjuang.
“Hanya karena seseorang telah berada di posisimu, tidak berarti mereka peduli padamu," kata Mr Koo.
Ia menjelaskan, mengatasi kesulitan tertentu mungkin, pada dasarnya, menyebabkan orang menjadi kurang simpatik terhadap mereka yang mengalami kesulitan yang sama karena mereka telah mengatasinya.
Meski demikian, para peneliti mengatakan masih terlalu dini untuk membuat kesimpulan definitif tentang bagaimana mobilitas ke atas memengaruhi cara berpikir orang, sehingga penelitian lanjutan diperlukan.
"Kemungkinan ada banyak orang kaya yang tidak sesuai dengan pola yang kami dokumentasikan yang bersimpati terhadap orang miskin dan kesejahteraan sosial," kata Koo.
“Kami menunjukkan tren dasar, tetapi kemungkinan ada banyak pengecualian untuk pola yang kami dokumentasikan,” katanya menambahkan.
Lebih lanjut, Koo mengatakan bahwa penelitian menyarankan orang harus mempertimbangkan narasi budaya di sekitar dua kelompok kaya dan bahwa mobilitas sosial mungkin memiliki kerugian sosial yang tidak terduga.
Hal ini menyebabkan kelompok orang yang telah mencapai kesuksesan menjadi kurang simpatik terhadap orang lain yang sedang berjuang.
Dia juga mengatakan ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana ras dan gender dapat mempengaruhi persepsi ini dan melakukan survei serupa di luar AS.***