Tolak Lakukan Pembicaraan, Presiden Kazakhstan Perintahkan Pasukannya Tembak Mati Pengunjuk Rasa

8 Januari 2022, 14:04 WIB
Alih-alih melakukan pembicaraan, Presiden Kazakhstan meminta pasukannya untuk menembak mati pengunjuk rasa tanpa peringatan. /Pavel Mikheyev/Reuters

PR DEPOK – Di tengah kerusuhan, Presiden Kazakhstan menolak seruan untuk melakukan pembicaraan dengan pengunjuk rasa.

Alih-alih melakukan pembicaraan dengan pengunjuk rasa, Presiden Kazakhstan justru bersumpah untuk menghancurkan apa yang ia sebut sebagai bandit bersenjata.

Bukan hanya itu, Presiden Kazakhstan juga mengizinkan pasukannya untuk menembak mati para pengunjuk rasa tanpa peringatan.

Dalam pidatonya, Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev juga memberikan terima kasih khusus kepada Presiden Rusia Vladimir Putin.

Baca Juga: Raffi Ahmad Sebut Rayyanza Bisa Sembuh Lebih Cepat Setelah Disunat, Ternyata Gegara Ini: Kan Masih Kecil

Ucapan itu diberikan usai aliansi militer yang dipimpin Moskow mengirim pasukan ke Kazakhstan untuk membantu memadamkan kerusuhan.

Pasukan keamanan telah memblokir daerah-daerah strategis Almaty, kota terbesar di negara itu dan pusat kekerasan baru-baru ini dan melepaskan tembakan ke udara jika ada yang mendekat.

Di tempat lain kota itu seperti kota hantu, dengan bank, supermarket, dan restoran tutup. Beberapa toko kecil yang tetap buka dengan cepat kehabisan makanan.

Baca Juga: Ashanty Positif Covid-19 Sepulang dari Turki, Deddy Corbuzier Geram: Siap-siap dah Kita Gelombang 3

Tokayev mengatakan ketertiban sebagian besar telah dipulihkan di seluruh negeri, setelah protes minggu ini atas harga bahan bakar meningkat menjadi kekerasan yang meluas.

"Teroris terus merusak properti dan menggunakan senjata terhadap warga sipil. Saya telah memberikan perintah kepada penegak hukum untuk menembak mati tanpa peringatan," kata Tokayev, dilansir PikiranRakyat-Depok.com dari Channel News Asia.

Dia mengolok-olok panggilan dari luar negeri untuk negosiasi sebagai omong kosong.

Baca Juga: Link Live Streaming Real Madrid vs Valencia di Liga Spanyol Minggu, 9 Januari 2022 Pukul 3.00 WIB

"Kita berurusan dengan bandit bersenjata dan terlatih, baik lokal maupun asing. Dengan bandit dan teroris. Jadi mereka harus dihancurkan. Ini akan segera dilakukan," tegasnya.

Lama dilihat sebagai salah satu negara bekas republik Soviet di Asia Tengah yang paling stabil, Kazakhstan yang kaya energi menghadapi krisis terbesarnya dalam beberapa dekade.

Para pengunjuk rasa menyerbu gedung-gedung pemerintah di Almaty dan terlibat baku tembak dengan polisi dan militer.

Baca Juga: Bek Persija Jakarta Komentari Kebiasaan Pemain Indonesia Menyantap Makanan Digoreng

Kementerian dalam negeri mengatakan 26 penjahat bersenjata tewas dalam kerusuhan itu, setelah sebelumnya melaporkan puluhan tewas.

Dikatakan 18 petugas keamanan telah tewas dan lebih dari 740 terluka, dan lebih dari 3.800 orang ditahan.

Jumlahnya tidak dapat diverifikasi secara independen dan tidak ada informasi resmi tentang korban tewas dan terluka di antara para pengamat sipil.

Baca Juga: Sinopsis Film Beyond the Reach: Perburuan Hewan Hampir Punah oleh Taipan Kejam

Gambaran lengkap kekacauan seringkali tidak jelas, dengan gangguan komunikasi yang meluas termasuk sinyal ponsel, pemblokiran pengirim pesan online, dan penutupan internet selama berjam-jam.

Negara-negara Barat telah menyerukan agar semua pihak menahan diri dan menghormati hak rakyat untuk melakukan protes secara damai.

Dalam sebuah pesan kepada Tokayev, Presiden Tiongkok Xi Jinping memujinya karena mengambil tindakan tegas dan bertanggung jawab tinggi atas negara dan rakyat.

Baca Juga: Terkait Donasi Rumah Gala Sky yang Tidak Memiliki Izin, Susi Pudjiastuti: Kenapa Harus Izin?

Tokayev mengatakan Almaty telah diserang oleh 20.000 bandit dengan rencana serangan yang jelas, koordinasi tindakan dan kesiapan tempur yang tinggi.

Dia menyalahkan apa yang disebut sebagai media bebas dan tokoh asing yang tidak disebutkan namanya karena menghasut kekerasan.

Tokayev mengumumkan keadaan darurat nasional dan meminta bantuan dari Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) yang didominasi Rusia, yang mencakup lima negara bekas Soviet lainnya.***

Editor: Linda Agnesia

Sumber: Channel News Asia

Tags

Terkini

Terpopuler