Studi Terbaru: Usai Dinyatakan Sembuh dari Virus Corona, Mayoritas Individu Akan Membawa Antibodi

- 9 Mei 2020, 03:40 WIB
Sejumlah pekerja berjalan usai bekerja dengan latar belakang gedung perkantoran di Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (16/4/2020). Pemprov DKI Jakarta akan memberikan saksi berupa mencabut perizinan kepada perusahaan yang tetap beroperasi di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kecuali sebelas sektor yang memang diizinkan.
Sejumlah pekerja berjalan usai bekerja dengan latar belakang gedung perkantoran di Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (16/4/2020). Pemprov DKI Jakarta akan memberikan saksi berupa mencabut perizinan kepada perusahaan yang tetap beroperasi di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kecuali sebelas sektor yang memang diizinkan. /ANTARA/

PIKIRAN RAKYAT - Sebuah studi baru memberikan secercah harapan dalam memerangi pandemi Virus Corona yang diketahui saat ini sudah menyebar ke 212 negara di seluruh dunia.

Studi baru ini mengklaim bahwa sebagian besar pasien yang sudah dinyatakan sembuh dari virus corona akan membuat antibodi meskipun usia, jenis kelamin atau seberapa parah mereka terinfeksi.

Studi yang diunggah daring pada hari Selasa akan tetapi belum ditinjau oleh para ahli, juga mengisyaratkan bahwa siapa pun yang telah pulih dari infeksi dapat kembali bekerja dengan aman-meskipun tidak jelas seberapa lama perlindungan mereka mungkin bertahan.

Baca Juga: Ingin Kebal Terhadap Corona, 20 Warga AS Sengaja Undang Pasien Positif Agar Mereka Ikut Tertular

Antibodi adalah molekul kekebalan yang diproduksi oleh tubuh untuk melawan patogen. Kehadiran antibodi dalam darah biasanya memberikan setidaknya beberapa perlindungan terhadap virus.

Dikutip olehp pikiranrakyat-depok.com dari The New York Times, pejabat kesehatan di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, menggantungkan harapan mereka pada tes yang mengindentifikasi antibodi virus corona untuk memustukan siapa yang kebal dan dapat kembali bekerja.

Orang-orang yang kebal dapat menggantikan individu yang rentan, terutama dalam pengaturan transmisi tinggi seperti rumah sakit, membangun apa yang peneliti sebut "perisai kekebalan" dalam populasi.

Baca Juga: Menhub Longgarkan Aturan Transportasi, MUI Desak Agar Dibatalkan karena Bertentangan dengan PSBB

Studi ini mengandalkan tes yang dikembangkan oleh Florian Krammer, seorang peneliti dari Fakultas Kedokter Icahn, yang memiliki peluang kurang dari satu persen untuk menghasilkan antibodi positif palsu.

Beberapa penelitian kecil telah memberikan alasan untuk beberapa bahwa orang memiliki covid-19 penyiakit yang disebabkan oleh virus corona akan mendapatkan kekebalan untuk beberapa periode waktu.

Studi baru ini adalah yang terbesar sejauh ini, dengan hasil dari 1.343 orang di dan sekitar New York City.

Baca Juga: Berencana Tawuran, ABG di Depok Terciduk Polisi Bawa Motor Hasil Begal

Studi ini juga mengurangi kekhawatiran yang menganggu bahwa hanya beberapa orang - hanya mereka yang sakit parah, misalnya yang dapat membuat antibodi. Faktanya, tingkat antibodi tidak berbeda berdasarkan usia atau jenis kelamin, dan bahkan orang yang hanya memiliki gejala ringan menghasilkan jumlah yang sehat.

Memiliki antibodi tidak sama dengan memiliki kekebalan terhadap virus. Namun dalam penelitian sebelumnya, tim Dr Krammer telah menunjukan bahwa tingkat antibodi terkait erat dengan kemampuan melucuti virus, kunci kekebalan tubuh.

"Ini benar-benar menunjukan bahwa kebanyakan orang mengembangkan antibodi dan ada korelasi yang sangat baik antara antibodi dan kemampuan mereka untuk menetralkan virus," kata ahli virologi Universitas Columbia Dr Angela Rasmussen.

Baca Juga: Sinopsis 5 Days of War, Hidup Mati Jurnalis Jalani Liputan di Tengah Perang Tayang Malam Ini

Para peneliti di Mount Sinai menguji orang-orang yang mendaftar menjadi donor plasma pemulihan, antibodi yang diekstrasi dari darah. Proyek ini telah mendaftarkan lebih dari 15.000 orang sejauh ini, menurut Dr Ania Wajnberg yang merupakan pemimpin proyek tersebut.

Studi baru adalah analisis hasil set donor pertama. Secara keseluruhan hanya tiga persen dari peserta ini yang pernah dirawat di Unit Gawat Darurat (UGD) atau dirawat di rumah sakit. Subjek lainnya hanya memiliki gejala ringan atau sedang.

"Setahu saya, ini adalah kelompok orang terbesar yang dideskripsikan dengan penyakit ringan," kata Dr Wajnberg.

Baca Juga: Sinopsis Drive Hard, Aksi Mantan Pembalap yang Terpaksa Berurusan dengan Kepolisian Tayang Malam ini

Kriteria untuk dimasukkan menjadi lebih ketat karena tim belajar lebih banyak tentang virus corona. Sebagai contoh, mereka awalnya mengharuskan donor potensial untuk bebas dari gejala hanya untuk tiga hari, tetapi kemudian diperpanjang hingga 14 hari.

Tim menguji 624 orang yang telah dites positif untuk virus dan telah pulih. Pada awalnya, hanya 511 dari mereka memiliki tingkat antibodi yang tingggi; 42 memiliki level rendah; dan 71 tidak punya.

Ketika 64 dari subjekk dengan level yang lemah atau tidak diuji lebih ulang lebih dari seminggu kemudian, semua kecuali tiga memiliki setidaknya beberapa antibodi.

Baca Juga: UPDATE Corona di Depok 8 Mei 2020: Kasus Positif Bertambah 9 Orang dan 1 Orang Sembuh

Itu menunjukkan waktu pengujian untuk antibodi dapat sangat mempengaruhi hasil, kata para peneliti.

Bahkan ada perbedaan antara kadar pada 20 hari dibandingkan 24 hari, katanya. Hal ini menunjukkan bahwa waktu optimal untuk tes antibodi adalah setelah gejala dimulai.

"Apa yang kami sampaikan pada orang-orang sekarang adalah setidaknya tiga minggu setelah timbulnya gejala," ucapnya.

Baca Juga: Tawuran Remaja Berujung Maut di Depok, Polisi Buru sang Provokator

Para peneliti memasukkan 719 orang lain dalam penelitian mereka yang menduga memiliki covid-19 berdasarkan gejala, tetapi pada mereka yang penyakit belum telah didiagnosis.***

Editor: Billy Mulya Putra

Sumber: The New York Times


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah