FPKS Tolak RUU Cipta Kerja Disahkan, Ledia Hanifa: Hanya Melihat dari Ketidakberdayaan Pengusaha

4 Oktober 2020, 13:43 WIB
Ledia Hanifa Amaliah anggota Baleg DPR-RI Fraksi PKS (foto-Antara) /

PR DEPOK – Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar rapat kerja (raker) bersama pemerintah dan DPD RI pada Sabtu malam dengan agenda pengambilan keputusan Tingkat I terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Dalam Raker tersebut, tujuh fraksi menyatakan setuju RUU Cipta Kerja dibawa dalam pengambilan keputusan Tingkat II dalam Rapat Paripurna untuk kemudian disetujui menjadi Undang-Undang (UU).

Selain tujuh fraksi menyatakan setuju, dua fraksi lain menyatakan menolaknya.

Baca Juga: Demi Majukan Daerah, DPD Berkomitmen Kawal RUU Cipta Kerja

Kedua fraksi yang menolak yaitu Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS.

Dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari ANTARA, Baleg DPR Fraksi PKS (FRKS) Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan bahwa pihaknya menolak RUU Cipta Kerja ditetapkan sebagai Undang-Undang (UU).

"Berdasarkan berbagai pertimbangan yang kami sampaikan, Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang," kata Ledia pada Raker tersebut.

Baca Juga: Tanpa Tunjukkan Gejala, Bos Persik Kediri Dinyatakan Positif Covid-19

Menurut Ledia, F-PKS menyadari substansi pengaturan yang terdapat dalam RUU Cipta Kerja memiliki implikasi yang luas terhadap praktik kenegaraan dan pemerintah di Indonesia.

Anggota Komisi X DPR itu mengatakan bahwa perlu terdapat pertimbangan yang mendalam terkait sudah sejalan atau belum dari aspek formil dan materil dari undang-undang tersebut dengan koridor politik hukum kebangsaan yang disepakati bersama.

Ledia menjelaskan terdapat beberapa catatan F-PKS DPR terkait RUU Cipta Kerja.

Baca Juga: Dianggap Ancam Kedaulatan, Fraksi PKS DPR Turut Tolak Pengesahan RUU Cipta Kerja

Pertama, F-PKS memandang pembahasan RUU Cipta Kerja pada masa pandemi Covid-19 menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan, koreksi, dan penyempurnaan terhadap RUU tersebut.

Kedua, lanjutnya banyak muatan dalam RUU Cipta Kerja itu yang seharusnya disikapi dengan kecermatan dan kehati-hatian.

"Pembahasan DIM yang tidak runtut dalam waktu yang pendek menyebabkan ketidakoptimalan dalam pembahasan. Padahal undang-undang ini memberikan dampak luas bagi banyak orang, bagi bangsa ini," ujar Ledia.

Baca Juga: Kamboja Robohkan Bangunan Milik AS di Pangkalan AL, Diduga Ada Kaitannya dengan Tiongkok

Ketiga, menurutnya, F-PKS memandang RUU Cipta Kerja tidak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam diagnosis, dan tidak pas dalam menyusun 'resep' meskipun yang sering disebut adalah soal investasi.

Ledia menilai bahwa pada kenyataannya persoalan yang diatur dalam Omnibus Law bukanlah masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi.

Menurutnya, persoalan itu hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha.

Baca Juga: Dinilai Abaikan Akal Sehat, Fraksi Demokrat Tolak Sahkan RUU Cipta Kerja

"Hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha tanpa melihat rata-rata lama masa kerja pekerja yang di PHK sehingga nilai maksimal pesangon itu semestinya tidak menjadi momok bagi pengusaha," ujar Ledia.

Keempat, lanjutnya secara substansi sejumlah ketentuan dalam RUU itu masih memuat hal-hal yang bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang disepakati bersama pascaamandemen konstitusi.

Menurutnya, ketentuan-ketentuan yang ditolak dalam RUU Cipta Kerja merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara melalui pemberian kemudahan kepada pihak asing.

Baca Juga: Muncul Adanya NKRI Syariah, Amir Mahmud: Ada yang Menolak ideologi Bangsa Bisa Disebut Pemberontak

"Termasuk juga ancaman terhadap kedaulatan pangan kita, RUU Cipta Kerja memuat substansi pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap tenaga kerja atau buruh melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha. Terutama pada pengaturan tentang kontrak kerja, upah, dan pesangon," ucap Ledia.

Selain itu, dirinya menilai bahwa RUU Cipta Kerja memuat pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian hidup misalnya dalam pasal 37 RUU Cipta Kerja terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) dihapus.

RUU itu, sambungnya, memberikan kewenangan yang sangat besar bagi pemerintah dengan tidak seimbang, karena menciptakan sistem pengawasan dan pengendalian terhadap penegakan hukum administratif.

Baca Juga: Beredar Kabar Terjadi Gempa Berkekuatan 8 SR Akibat Letusan Gunung Krakatau, BMKG Angkat Bicara

"Soyogianya apabila pemerintah bermaksud untuk mempermudah sistem pengenanaan sanksinya harus lebih ketat dengan mengembangkan sistem peradilan yang modern," tutur Ledia.***

Editor: Billy Mulya Putra

Sumber: Permenpan RB

Tags

Terkini

Terpopuler