Liput Aksi Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja, AJI Jakarta Sebut 7 Jurnalis Alami Kekerasan

9 Oktober 2020, 17:38 WIB
Ilustrasi jurnalis.* /Pixabay./

PR DEPOK - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers mencatat ada tujuh orang jurnalis yang mengalami kekerasan dari polisi saat meliput aksi tolak UU Cipta Kerja, di Jakarta pada Kamis, 8 Oktober 2020.

"Ada tujuh jurnalis, namun jumlah ini bisa bertambah dan kami masih terus menelusuri dan memverifikasi perkara," kata Erick Tanjung, Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta, Jumat 9 Oktober 2020, dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara.

Salah satu jurnalis dari CNN Indonesia, Tohirin, mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan polisi ketika sedang meliput demonstran yang ditangkap dan dipukul di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Padahal saat itu, Tohirin tidak memotret atau merekam perlakuan itu.

Baca Juga: Kembali Latihan Bersama Persib Bandung, Zalnando: Kerja Keras untuk Raih Juara

"Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” ujar Thohirin yang mengaku telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan "Pers" miliknya ke aparat.

Namun polisi tidak percaya atas kesaksian Tohirin, lalu merampas dan memeriksa galeri ponselnya. Polisi marah saat melihat ada foto aparat memiting demonstran, akibatnya ponsel yang Tohirin gunakan sebagai alat liputan dibanting hingga hancur dan seluruh data liputannya turut rusak.

Jurnalis kedua dari media Suara, Peter Rotti. Dia meliput di sekitar Jalan MH Thamrin. Saat sedang merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran, ada seorang polisi berpakaian sipil serba hitam menghampirinya dan meminta kameranya, namun Peter menolak karena merasa ia adalah jurnalis yang resmi meliput.

Polisi menolak pengakuan Peter, lalu merampas kameranya. Peter diseret, dipukul, dan ditendang oleh sejumlah polisi hingga tangan dan pelipisnya memar.

Baca Juga: Kemendikbud Buka Lowongan Kerja untuk Jabatan Fungsional, Berikut Ini Cara Daftarnya!

"Akhirnya kamera saya dikembalikan, tapi mereka ambil kartu memorinya,” kata Peter.

Jurnalis ketiga adalah dari merahputih.com, Ponco Sulaksono. Ponco sempat "hilang" beberapa jam, sebelum akhirnya diketahui ia dibekuk polisi.

Sulaksono kemudian ditahan di Polda Metro Jaya. Seorang jurnalis Radar Depok, Aldi, sempat merekam momen dia keluar dari mobil tahanan, Aldi yang bersitegang dengan polisi malah ikut dibawa.

Anggota pers mahasiswa yang meliput aksi juga ditahan oleh polisi, di antaranya Berthy Johnry (anggota Lembaga Pers Mahasiswa Diamma Universitas Prof Dr Moestopo Beragama di Jakarta), Syarifah dan Amalia (anggota Perslima Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), Ajeng Putri, Dharmajati dan Muhammad Ahsan (anggota Pers Mahasiswa Gema Politeknik Negeri Jakarta).

Baca Juga: Miliki Peran Penting untuk Perekonomian Nasional, Moeldoko Ungkap 97 Persen Tenaga Kerja Ada di UMKM

Berdasarkan kabar yang himpun, mereka ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya bersama anggota massa aksi lain.

"AJI Jakarta dan LBH Pers menegaskan penganiayaan oleh polisi serta menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 40/1999 tentang Pers," ucap Tanjung.

Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (pasal 4 UU Pers).

Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta (pasal 18 ayat 1).

Baca Juga: Selangkah Lagi Jadi WNI, Marc Klok Umbar Harapannya untuk Sepak Bola Indonesia

"Artinya, anggota kepolisian yang melanggar UU itu pun dapat dipidanakan. Kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan kepolisian kerap berulang. Aksi #ReformasiDikorupsi pun aparat mengganyang wartawan yang meliput," lanjut Tanjung.

Hingga saat ini persoalan itu tidak rampung meski telah melaporkan kasus itu ke polisi. Sanksi etik Kepolisian Republik Indonesia tidak cukup untuk menghukum para terduga kekerasan.

"Meski wartawan telah melengkapkan diri dengan atribut pers dan identitas pembeda di lokasi demonstrasi, tetap saja jadi sasaran amuk polisi. Dalih polisi 'kartu pers wartawan tak kelihatan', maupun rencana penggunaan pita merah-putih yang pernah diusulkan Polri sebagai pembeda, hingga kini tak terealisasi," ujarnya.

Tanjung juga mengimbau pimpinan redaksi ikut memberikan pendampingan hukum kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan aparat sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Baca Juga: Gangnam Festival K-Pop Concert 2020 Digelar Terbatas, Simak Cara Daftar dan Link Streaming Berikut

"Kami juga mendesak Kapolri membebaskan jurnalis dan jurnalis pers mahasiswa yang ditahan," katanya mengakhiri.***

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler