Akibat Game Online, Kapersky Ungkap Pengakuan Orang Tua yang Sebut Anaknya Berubah Menjadi Pemarah

12 Oktober 2020, 13:38 WIB
ILUSTRASI bermain game online. /Explor Bob/Pixabay

PR DEPOK - Berdasarkan studi yang dilakuman perusahaan keamanan siber global Kaspersky, 4 dari 10 orang tua di Asia Tenggara percaya bahwa anak-anak mereka menjadi lebih pemarah dari biasanya setelah asik bermain game.

Stephan Neumeier, Managing Director untuk Asia Pasifik di Kaspersky menyatakan saat ini para orang tua membesarkan anak-anak digital natives, yaitu anak-anak yang terlahir dengan perangkat digital dan internet.

"Kesenjangan generasi tersebut sering menyebabkan miskomunikasi dan skenario ini umum terjadi ketika seorang anak mengetahui lebih banyak tren dan trik online daripada sang ibu atau ayah," ujar Stephan seperti dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari Antara.

Baca Juga: Berikan Regulasi Sederhana, Sri Mulyani Nilai UU Ciptaker dapat Bebaskan RI dari Middle Income Trap

Studi yang berjudul "More Connected Than Ever Before: How We Build Our Digital Comfort Zones", menunjukkan survei terbaru terhadap 760 responden di Asia Pasifik mengonfirmasi bahwa anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu online karena situasi pandemi Covid-19.

Menurut Stephan, para orang tua memiliki ketakutan yang cukup objektif dan juga sedikit berlebihan terhadap kebiasaan anak-anak yang suka bermain game online.

Kapersky menganggap bahwa larangan untuk bermain game bukan keputusan tepat karena anak-anak akan merasa diperlakukan tidak adil.

Baca Juga: Regulasi Dinilai Sederhana, Sri Mulyani Sebut UU Ciptaker Bebaskan Indonesia dari Middle Income Trap

"Seperti banyak situasi lainnya, pelarangan bukanlah suatu pilihan. Orang tua tidak boleh melarang aktivitas anak dalam video game, tetapi secara efektif mengontrolnya, menggunakan perangkat lunak khusus dan pengaturan perangkat, serta berkomunikasi dengan anak dalam menjelaskan aturannya," kata Stephan.

Seharusnya, orang tua bisa menilai terlebih dahulu jika ingin melarang anak main game online.

Pertimbangkan bila anak memiliki kecenderungan yang merugikan kesehatan misalnya ada gangguan penglihatan dan mengganggu postur tubuh.

Perilaku agresif seorang anak tidak didorong oleh video game yang mereka mainkan, tetapi oleh alasan yang lebih luas.

Baca Juga: Sebabkan Angka Kemiskinan Kian Dalam, WHO Minta Pemimpin Dunia Tak Terapkan Lockdown

"Misalkan Anda tidak menunjukkan video game pada anak sama sekali, tapi mereka akan tetap berkompetisi kung fu dengan teman-temannya, menembak musuh yang tak terlihat dengan busur, pistol, peluncur granat atau peledak"

"Baik anak laki-laki maupun perempuan melakukan ini, meskipun diyakini bahwa bermain peperangan adalah hak prerogatif anak laki-laki," tutur Stephan.

Kapersky menyarankan agar para orang tua menggunakan peringkat usia (rating) dalam video game.

"Ingatlah bahwa peringkat usia bahkan mengalami penyimpangan kecil, jika cukup yakin bahwa game dengan peringkat 12+ itu bagus, mengapa tidak menginstalnya untuk putra Anda yang berusia sepuluh tahun?," ujar Stephan.

Baca Juga: Ferdinand Hutahaean Putuskan Hengkang dari Demokrat, Ruhut: Dia Sudah Kembali ke Jalan yang Benar

Langkah yang dapat dilakukan orang tua untuk mencegah anak main game yang tidak sesuai dengan usianya adalah dengan menggunakan perangkat lunak untuk membatasi setiap konten yang didasarkan pada peringkat usia.

"Hal terpenting adalah selalu ingat bahwa setiap kali mencoba membatasi akses anak ke permainan, pertama-tama Anda perlu berbicara dengan mereka dan menjelaskan mengapa tindakan tersebut penting dilakukan," tuturnya.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler