Tak Sejalan dengan HAM, Serikat Buruh Internasional Minta Jokowi Rilis Perppu Pembatalan UU Ciptaker

18 Oktober 2020, 08:28 WIB
Massa aksi mengibarkan bendera saat unjuk rasa menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja di kawasan Jalan M.H. Thamrin, Jakarta, Kamis (8/10/2020). /ANTARA FOTO/Dhemas

PR DEPOK – Sejak disahkan DPR RI pada 5 Oktober 2020 malam, Omnibus Law UU Cipta Kerja masih menuai banyak penolakan.

Terkait pengesahan tersebut, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) meminta kebijaksanaan politik kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membatalkan UU Cipta Kerja.

ASPEK Indonesia menuntut Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) pembatalan UU Cipta Kerja.

Desakan tersebut disampaikan oleh Presiden ASPEK Indonesia, Mirah Sumirat.

Baca Juga: Kepolisian Aceh Utara Amankan Petani yang Juga Pengedar Narkoba Beserta Barang Bukti Sabu 1,78 Gram

Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh presiden terkait pentingnya Perppu tersebut.

Pertama, kata dia, pembahasan RUU Cipta Kerja sejak awal proses legislasi mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan sudah menuai banyak kontroversi serta kritik dari berbagai elemen masyarakat.

Menurutnya, proses yang dilaksanakan dalam upaya pengesahan UU tersebut minim partisipasi publik dan tidak melibatkan unsur tripartit sejak awal penyusunan, maupun isinya yang anggap menguntungkan kelompok pengusaha dan merugikan rakyat.

Kedua, menurutnya, Omnibus Law secara nyata telah menimbulkan banyaknya penolakan dari masih berupa RUU hingga menjadi UU yang telah disahkan.

Baca Juga: Diduga Akibat Truk Alami Rem Blong, Kecelakaan Beruntun di Bogor Sebabkan 5 Orang Tewas, 7 Luka-luka

“Kedua, juga nyata telah terjadi penolakan baik saat masih RUU maupun setelah pengesahan UU Cipta Kerja, yang semakin meluas dari berbagai elemaen masyarakat. Secara umum kami menilai bahwa UU Cipta Kerja hanya mementingkan kelompok pengusaha dan merugikan rakyat,” kata Mirah sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari RRI.

Selain itu, menurut Mirah, pengesahan UU Cipta Kerja dilakukan secara terburu-buru dan terkesan dipaksakan.

Bahkan, lanjutnya, saat pengesahan, anggota DPR tidak menerima naskah UU Cipta Kerja yang disahkan.

Di sisi lain, proses penyusunan serta pengesahan uu tersebut, serta penolakan dari masyarakat telah menjadi sorotan dunia internasional.

Baca Juga: Program Stickering BBM Premium dan Solar Dicabut Setelah Terima Kritik Keras dari DPRD Aceh

Mirah mengatakan, akibat minimnya keterlibatan publik dalam penyusunan hingga pembahasan, membuat asosiasi pekerja internasional menyoroti UU Cipta Kerja.

Council of Global Unions yang terdiri dari International Trade Union Confederation (ITUC), UNI Global Union, IndustriAll, BWI, ITF, EI, IFJ, IUF, PSI selaku konfederasi dan federasi serikat pekerja tingkat dunia bersama federasi serikat pekerja internasional dan organisasi serikat pekerja dari berbagai negara, antara lain Japanese Trade Union Confederation (JTUC-Rengo), Central Autonoma de Trabajadores del Peru, FNV Netherlands, Memur-Sen Turky, juga sudah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo.

Inti surat tersebut, menurut Mirah, berisi seruan kepada Pemerintah Indonesia untuk mencabut UU Cipta Kerja atau Omnibus Law.

Ia menilai Omnibus Law menimbulkan ancaman bagi proses demokrasi serta menempatkan kepentingan dan tuntutan investor asing di atas kepentingan pekerja, komunitas, serta lingkungan.

Baca Juga: Tayang Perdana, tVN Bagikan Cuplikan Drama Start-Up Dibintangi Suzzy Miss A, Berikut Link Videonya

Organisasi serikat pekerja internasional, menurutnya, juga prihatin terhadap prsedur dan substansi UU Cipta Kerja yang dianggap tidak sejalan dengan hak asasi manusia di Indonesia maupun hukum hak asasi manusia internasional.

Menurut Mirah, beberapa hal yang disebutkannya seharusnya dapat menjadi perhatian presiden berkaitan agar upaya pemulihan ekonomi menjadi lebih prioritas.

“Beberapa catatan itu tentunya harus menjadi perhatian presiden, agar upaya pemulihan ekonomi khususnya di masa pandemi dapat menjadi lebih prioritas,” kata Mirah.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler