Maka dari itu, dikatakan Susi Handayani, seharusnya pola ini tidak diterapkan lagi dalam sistem pendidikan yang memerdekakan.
Selanjutnya, Susi Handayani menyoroti proses penyelesaian kasus pelajar yang menghina Palestina. Menurutnya, dalam mediasi, yang bersangkutan seharusnya juga memiliki pendamping selain orang tua.
Pasalnya, posisi MS saat itu sangat lemah dan hanya menerima semua keputusan yang ditimpakan kepadanya.
"Saat anak dihadirkan dalam proses mediasi seharusnya didampingi karena dia dihadirkan sebagai orang yang bersalah tentu ada tekanan psikologis. Maka semua hal diterima karena posisinya lemah," ujarnya.
MS (19) pelajar kelas II SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu dikeluarkan dari sekolahnya akibat tindakan ujaran kebencian menghina Palestina via aplikasi TikTok yang sempat viral.
"Keputusan ini diambil setelah pihak sekolah mengevaluasi tata tertib sekolah dan pelanggaran MS dan hasilnya yang bersangkutan sudah melampaui ketentuan," kata Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Bengkulu Tengah, Adang Parlindungan di Bengkulu, pada Rabu 19 Mei 2021.
Ia menyebutkan, keputusan tersebut merupakan jalan keluar yang sudah disepakati bersama antara pihak sekolah, orangtua MS dan sejumlah pihak terkait yang dimediasi kepolisian dan sejumlah tokoh masyarakat.***