SIKM Jadi Barang Wajib, Pengamat Kebijakan Publik: Tidak Efisien

- 7 Juni 2020, 17:00 WIB
Kemacetan kendaraan di Jalan Tol Cawang-Grogol, Jakarta Selatan, Jumat 5 Juni 2020.
Kemacetan kendaraan di Jalan Tol Cawang-Grogol, Jakarta Selatan, Jumat 5 Juni 2020. /Antara/Sigid Kurniawan/

PR DEPOK - Guna mengantisipasi penyebaran virus corona, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta memperketat akses keluar-masuk Ibu Kota, salah satunya dengan memberlakukan aturan Surat Izin Keluar Masuk atau SIKM.

Aturan tersebut tertuang pada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 47 Tahun 2020.

SIKM menjadi syarat mutlak. Tidak mengantongi SIKM berarti tidak bisa keluar-masuk Jakarta.

Akan tetapi, tidak semua masyarakat bisa mendapatkan SIKM.

Baca Juga: Rapat PKI Dikabarkan Sering Digelar di Kantor Staf Kepresidenan, Cek Faktanya

SIKM diberikan hanya untuk orang yang bekerja di beberapa sektor yang dikecualikan serta beberapa hal lainnya.

Sebelumnya, kepolisian daerah Metro Jaya telah memeriksa sejumlah kendaraan dan tak sedikit kendaraan yang tidak memenuhi persyaratan dan terpaksa harus diputarbalikkan saat keluar-masuk Jakarta.

Upaya Pemprov Jakarta melakukan pembatasan pergerakan masyarakat yang melakukan perjalanan di tengah pandemi Covid-19 mendapat kritik.

Menurut pengamat kebijakan publik Azas Tigor Nainggolan, penggunaan SIKM tidak efisien. Bahkan dia menilai kebijakan tersebut tidak benar.

Baca Juga: 5 Elemen Masyarakat Ini Bisa Berperan Dukung New Normal

"Orang (harusnya) dipantau. Mau berpergian ngurus SIKM susah. Gak bener juga yang model pembatasan seperti itu. Kalau mau dibikin jangan tanggung," kata Tigor sebagaimana Pikiranrakyat-depok.com kutip dari RRI.

Meski syarat beroleh SIKM sulit, pada kenyataannya penggunaan SIKM di lapangan tidak efisien membatasi pergerakan masyarakat.

Tigor memberikan usulan, agar pengawasan dapat berjalan secara efisien dan akurat, harus mengubah pola persyaratan perjalanan tersebut.

Menurut dia, SIKM dapat diubah menjadi buku riwayat perjalanan.

"Bikin saja buku SIKM, Buku perjalanan seperti paspor yang dilengkapi barcode, jadi ketauan kita pergi ke mana, naik apa, posisi duduknya keliatan. Kalau ada kasus positif di penerbangan, mempermudah untuk melacaknya. Berarti pada perjalanan atau penerbangan selanjutnya bisa langsung segera ditunda," katanya.

Saat pemerintah mempersiapkan tatanan new normal, penggunaan buku riwayat perjalanan dinilainya lebih efisien.***

Editor: Yusuf Wijanarko

Sumber: RRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x