Kepala BNPB Ungkap Perubahan Iklim Picu Kejadian Bencana: Terbukti Meningkatkan Frekuensi

- 5 Juni 2023, 09:55 WIB
Ilustrasi perubahan iklim. Kepala BNPB menyebut bahwa perubahan iklim yang terjadi memicu semakin meningkatnya frekuensi kejadian bencana.
Ilustrasi perubahan iklim. Kepala BNPB menyebut bahwa perubahan iklim yang terjadi memicu semakin meningkatnya frekuensi kejadian bencana. /Medi2Go/Pixabay

PR DEPOK - Tren kenaikan jumlah bencana alam terjadi karena perubahan iklim yang meninggi.

"Perubahan iklim terbukti meningkatkan frekuensi kejadian bencana dengan sangat drastis dan lebih ekstrim," ucap Letjen TNI suharyanto dalam Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Penanggulangan Bencana Alam Dan perubahan iklim Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Alhamdiah, Depok, Sabtu lalu, lewat keterangan tertulis.

Berdasarkan data BNPB 2010 hingga 2022, tren kenaikan hingga 82 persen. Hal tersebut sama terjadi, khususnya sejak 1961.

"Sehingga, benar adanya bahwa peningkatan anomali suhu rata-rata naik di tingkat global maupun nasional menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian bencana, terutama bencana hidrometeorologi," ujarnya, dikutip PikiranRakyat-Depok.com dari ANTARA.

Baca Juga: 6 Fakta Pencairan KJP Plus 2023 Non Tunai, Awas Merchant Punya Rekaman Barang Belanjaan!

Dari data yang dihimpun BNPB pada 5 bulan terakhir 2023, sudah terjadi 1.675 ribu kejadian bencana.

Mengawali tahun 2023 BNPB mencatat selama lima bulan terjadi 1.675 kejadian bencana. Itu didominasi oleh bencana hidrometeorologi bekertaitan dengan siklus air, contohnya banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan sebesar 99,1 persen. Persentase yang hampir terus terjadi.

Menurut dia kejadiannya didominasi oleh bencana hidrometeorologi sebesar 99,1 persen, dengan rincian 92,5 persen adalah bencana hidrometeorologi basah dan 6,6 persen merupakan bencana hidrometeorologi kering. Sisanya merupakan bencana geologi dan vulkanologi.

Baca Juga: Mantul! 7 Rekomendasi Sate Terenak di Banjarbaru, Lihat Alamatnya di Sini

Pertama, Bencana hidrometeorologi basah, akar permasalahan utama adalah urbanisasi yang memberikan tekanan pada lingkungan di hilir dan alih fungsi lahan baik secara sistematis maupun ilegal yang mengurangi kapasitas daya serap, baik karbon maupun air mulai dari hulu hingga hilir.

Sambungnya, ia mengemukakan urbanisasi juga dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk pembuangan asap kendaraan, pabrik, maupun lainnya, sehingga menjadikan kualitas udara tidak sehat.

Sementara itu, alih fungsi biasanya menyebabkan pengurangan vegetasi yang menyebabkan kemampuan alam dalam menyerap kemampuan alam dalam menyerap karbon melemah dan meningkatkan kerentanan banjir dan longsor karena air tidak terserap secara optimal.

Baca Juga: Berikan Senapan Serbu sebagai Cenderamata untuk Menteri Pertahanan Qatar, Prabowo: Buatan Pindad

Dampak perubahan iklim tidak hanya terjadi di wilayah hulu, peningkatan suhu global memicu trend kenaikan tinggi muka laut. Kejadian bencana banjir rob meningkat 46 persen dari 35 kali kejadian di tahun 2020, sedangkan di tahun 2022 menjadi 75 kali kejadian bencana banjir.

"Terjadi peningkatan frekuensi kejadian banjir dari laut (rob). Diperparah oleh kerusakan ekosistem pesisir," ujarnya.

Selain hidrometeorologi basah, bencana hidrometeorologi kering sudah mulai terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Baca Juga: 7 Rekomendasi Bakso Terenak di Palangkaraya, Cek Alamat Lengkapnya

"Terjadi kenaikan frekuensi kejadian kebakaran hutan dari Minggu ke Minggu, sehingga beberapa daerah sudah menetapkan status siaga darurat," katanya.

Berdasarkan data yang dilansir Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan luas lahan terdampak kebakaran hutan dan lahan, khususnya lahan gambut berbanding lurus dengan emisi karbon yang dilepaskan.

Pada tahun 2019 dari 1.64 juta Ha lahan terbakar melepaskan 624 juta ton emosi karbon ke udara.

Baca Juga: Karim Benzema Siap ke Liga Arab, Ronaldo Sudah Beri Kode: Pemain Bintang akan ke Sini

"Mengatasi dampak perubahan iklim harus sama-sama kita dukung, karena Pemerintah tidak akan bisa bekerja secara optimal tanpa adanya dukungan dari berbagai elemen bangsa termasuk LPBI NU sebagai komunitas penanggulangan bencana,” katanya.

"Ini semua menjadi tantangan kita bersama.Bagaimana fenomena global dan regional telah nyata berdampak pada peningkatan intensitas kejadian dan dampak bencana di tingkat lokal," katanya.

Dalam akhir sambutannya, ia mengatakan mengapresiasi keterlibatan berbagai elemen pentahelix dalam penanggulangan bencana.

Baca Juga: Kemenag Minta Garuda Indonesia Berkomitmen dengan Jadwal Penerbangan Jamaah Calon Haji

Pada agenda itu turut dilakukan penandatanganan nota kesepahaman antara BNPB dengan LPBI NU untuk memperkuat kerjasama yang telah berjalan dengan baik.

Dihadiri oleh kepala BNPB, Plt. Sekretaris Umum BNPB, Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB, kepala biro hukum organisasi dan kerja sama, serta Plt. Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB. ***

Editor: Linda Agnesia

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x