Penolakan Israel di Piala Dunia U-20, Mengenal Lex Sportiva: Asas Olahraga yang Tak Lagi Menjadi Acuan

7 April 2023, 14:39 WIB
Mengenal Lex Sportiva yang tidak lagi menjadi acuan di tengah penolakan Timnas Israel di Piala Dunia U-20.* /Reuters/Amir Cohen/

PR DEPOK - Indonesia sempat ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 oleh Federation Internationale de Football Association (FIFA), sebelum statusnya dicabut per 29 Maret 2023 lalu.

 

FIFA tak menyebut alasan pencabutan status tuan rumah Indonesia secara eksplisit. Namun, Ketua Umum PSSI Erick Thohir memberi indikasi soal alasan FIFA melakukan pembatalan tersebut disebabkan faktor intervensi, yaitu penolakan terhadap timnas Israel U-20 dan faktor keamanan.

Penolakan ini berawal dari surat Gubernur Bali, I Wayan Koster yang menolak kedatangan delegasi Israel dalam rangka pembagian grup Piala Dunia U-20 di Bali. Koster beralasan bahwa Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

Fenomena aksi boikot dalam ajang olahraga internasional atas dasar prinsip politik luar negeri seperti ini pernah terjadi sebelumnya.

Baca Juga: Sejarah Nuzulul Quran dan Periode Diturunkannya Al Quran pada 17 Ramadhan

Contohnya pada Commonwealth Games 1986 yang seharusnya diselenggarakan di Edinburgh, Inggris, diboikot oleh 32 negara yang mengecam kedekatan Perdana Menteri Margaret Thatcher dengan rezim apartheid Afrika Selatan. Berujung hanya 27 negara yang berpartisipasi dalam ajang tersebut, penyelenggara pun mengalami kerugian besar.

Kemudian Swedia dan Finlandia yang menolak untuk berpartisipasi dalam Kejuaraan Bandy Internasional 2022 di Rusia, demi solidaritas terhadap Ukraina. Kompetisi tersebut akhirnya dibatalkan sebab sedikitnya negara yang berpartisipasi.

 

Menyorot Tanah Air, fenomena seperti penolakan Timnas Israel U-20 sendiri bukan hal yang pertama kali bagi Indonesia.

Presiden pertama Indonesia, Soekarno pernah melakukan penolakan yang serupa pada ajang Asian Games 1962. Soekarno sempat menolak memberikan visa kepada delegasi Israel.

Baca Juga: Cara Daftar DTKS untuk Dapat BPNT April 2023 dari Kemensos Pakai Nama dan Nomor KTP

Walaupun ajang tersebut sukses digelar, Indonesia tetap menerima hukuman dengan dibekukannya keanggotaan Indonesia dalam Komite Olimpiade Internasional (KOI) dari 1962 sampai 1964.

Dosen Program Studi Hubungan Internasional UPN Veteran Jawa Timur, Ario Bimo Utomo menuturkan aksi-aksi boikot yang dilakukan seperti itu disebabkan oleh asas universal olahraga Lex Sportiva yang tak lagi menjadi acuan oleh negara, baik secara kelembagaan maupun individunya.

 

Lex Sportiva digunakan sebagai sebuah acuan bahwa olahraga internasional memiliki aturan yang bersifat otonom, independen, dan berlaku secara universal.

Federasi olahraga internasional berhak untuk mengelola aturannya sendiri tanpa adanya intervensi, baik secara politik, ekonomi, dan arah pandangan ideologis dari suatu negara.

Baca Juga: Sambut Nuzulul Quran dengan Mengunggah Twibbon di Instagram dan WhatsApp di Sini

Ario mengutip seorang ilmuwan politik bernama Joseph Nye yang mencetuskan konsep Soft Power. Sebuah konsep yang menjelaskan kekuatan suatu negara melakukan persuasi pada negara lain melalui budaya, pariwisata, dunia hiburan, dan ideologi.

Olahraga dapat menjadi sumber Soft Power yang efektif bagi negara. Menurut Ario, hal ini juga yang menyebabkan banyak negara yang berlomba-lomba menjadi tuan rumah ajang olahraga internasional. Tentu untuk memenuhi keperluan membentuk citra negara yang kompeten di mata dunia.***

Editor: Tyas Siti Gantina

Tags

Terkini

Terpopuler