Film Rubber (1936): Pengalaman Kolonial yang Tidak Terlupakan

18 Maret 2024, 17:45 WIB
ILUSTRASI - Karya pertama Madelon Székely-Lulofs, "Rubber," mengisahkan kehidupan di sebuah perkebunan karet di Sumatera Timur pada masa kolonial.* /Pixabay/StockSnap /

PR DEPOK - Karya pertama Madelon Székely-Lulofs, "Rubber," mengisahkan kehidupan di sebuah perkebunan karet di Sumatera Timur pada masa kolonial.

Novel ini bukan hanya gambaran sebuah era penting, di mana masyarakat petani mengalami perkembangan pesat dan kekayaan yang melimpah serta habis hingga krisis tahun 1929, tetapi juga cerita tentang bagaimana Madelon Székely-Lulofs memandangnya.

Dilahirkan di Surabaya dan menikah dengan seorang penanam karet, Madelon menjadi salah satu dari sedikit wanita yang memasuki masyarakat internasional yang didominasi oleh pria. Respon dari masyarakat tersebut tercermin dalam novelnya, "Rubber."

Kelebihan utama Madelon Székely-Lulofs adalah kemampuannya untuk melihat dunia yang begitu akrab baginya dari sudut pandang yang berbeda. Dia juga mampu merasakan kebingungan diam para buruh dan pembantu pribumi yang telah mengisi masa kecilnya.

Baca Juga: 4 Rekomendasi Tempat Bukber Mewah di Bogor, Ada Restoran Thai Food sampai Ramen Hotman Paris

"Rubber" bukan hanya sekedar novel, tetapi juga dokumen. Bahkan sebelum bukunya diedarkan, penulisnya sudah meramalkan kontroversi yang akan timbul. Dan ramalannya benar. Dengan derasnya kritik yang diterimanya, "Rubber" segera menjadi bestseller.

Diterjemahkan ke dalam lima belas bahasa dan dijadikan film pada tahun 1936. Namun, "Rubber" hanya tersedia dalam versi yang sangat dipersingkat sejak tahun 1952. Hal ini dianggap tidak adil, sehingga edisi yang lebih lengkap diterbitkan kembali.

Penggarapan film (1936)

Adaptasi dari novel ini dilakukan oleh sutradara Gerard Rutten dan co-sutradara Johan de Meester. Dengan beragam karakter dalam novel, tentu saja tidak mungkin semuanya dimasukkan ke dalam film. Namun, mereka berusaha tetap mempertahankan atmosfer dari novel tersebut.

Baca Juga: Daftar Titik Lokasi WiFi Gratis di Depok, Berikut Cara Menyambungkan ke HP Anda

Gerard Rutten berbagi pengalaman tentang proses pembuatan film "Rubber" dalam otobiografinya "Mijn papieren camera," halaman 100-105.

Hanya sedikit kru yang dapat pergi ke Sumatera, sebagian besar pengambilan gambar dilakukan di studio di Amsterdam. Sinematografer Laslo Schaeffer dan perancang set Herman Rosse berhasil menciptakan atmosfer tropis melalui pencahayaan dan set yang cermat.

Pada tahun 1936, film ini mendapat sambutan yang baik, dengan ulasan positif dan animo penonton yang tinggi. Poster film menampilkan tagline: "The only Dutch feature film of international caliber," dan kali ini, bukanlah sekedar pemanis.

Sejak itu, film ini jarang ditayangkan, padahal sebenarnya merupakan salah satu puncak sinema Belanda pada tahun 1930-an. Pada tahun 1986, seorang sejarawan film Michel Hommel menulis artikel informatif tentang film "Rubber" dalam majalah Skrien, ketika film tersebut diputar dalam perayaan ulang tahunnya yang ke lima puluh di Festival Film Belanda.

Baca Juga: Rekomendasi 5 Tempat Makan Sate di Jelambar, Rasa Enak Pol!

Namun, sayangnya Gerard Rutten, sang sutradara, tidak dapat menyaksikan penghormatan tersebut karena telah meninggal pada tahun 1982.

Saat premier pada tahun 1936, durasi film ini adalah 106 menit (2883 meter), namun salinan yang ada sekarang hanya berdurasi 63 menit (1785 meter). Apa yang terjadi dengan 43 menit yang hilang tersebut?

Hal ini dapat direkonstruksi berkat deskripsi rinci dari setiap adegan dalam edisi khusus majalah film populer Cinema dan Theater (7 Maret 1936).

Ternyata, adegan utama yang dihilangkan adalah semua adegan yang melibatkan Kika San, pembantu rumah tangga Jepang dan kekasih dari John van Laer sebelum ia menikah dengan tunangannya yang berasal dari Belanda, Renée.

Baca Juga: 4 Tips Agar Puasa Lancar Bagi Penderita Maag atau GERD

Tidak jelas siapa yang melakukan penyuntingan kasar ini. Namun, adegan yang hilang sepertinya telah hilang selamanya. Meskipun demikian, cerita film masih dapat diikuti dengan baik, meskipun memerlukan penonton yang sedikit lebih pengertian.***

Editor: Tyas Siti Gantina

Tags

Terkini

Terpopuler