Diam-diam Pejabat Intelijen Israel Adakan Pertemuan Rahasia dengan Salah Satu Kandidat Presiden Libya

6 September 2021, 17:45 WIB
Ilustrasi bendera Israel. /jorono/Pixabay

PR DEPOK - Para pejabat intelijen Israel secara rahasia bertemu dengan putra panglima perang Libya untuk membahas pencalonan presiden 2021.

Menurut sumber yang mengetahui informasi tersebut, pertemuan itu terjadi pada bulan ini dengan disinyalir Israel akan mendukung langka pencalonan Presiden Libya.

Dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Middle East Monitor pada Senin, 6 September 2021, Saddam Haftar secara diam-diam mencari dukungan Barat untuk kampanyenya.

Baca Juga: Merasa Dilecehkan Atas Kasus yang Dilakukan Saipul Jamil, Komnas Perlindungan Anak: Kita Boikot

Dalam pemilihan presiden yang akan diselenggarakan Desember mendatang, diperkirakan ia akan beradu melawan Saif al-Islam Gaddafi, putra mantan diktator Muammar Qaddafi.

Haftar dipandang sebagai wakil untuk ayahnya Khalifa Haftar, warga negara ganda AS-Libya yang juga komandan Tentara Nasional Libya (LNA) yang berbasis di timur negara itu.

Kemenangan Haftar dapat menyebabkan hubungan yang lebih dekat antara Israel dan Libya, negara yang tidak mengakui negara Yahudi.

Pada tahun lalu, berbagai negara Timur tengah seperti Maroko, Sudan, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA) telah sepakat untuk menormalkan hubungan dengan Israel.

Baca Juga: Diduga Tanggapi Glorifikasi Saipul Jamil di Stasiun TV, Hesti Purwadinata: Pengisi Acara Juga Harus Tegas!

Selama pertemuan rahasia itu, Haftar membahas situasi di kawasan, aspirasinya untuk stabilitas negaranya, dukungan yang dia nyatakan untuk demokrasi di negaranya, serta hukum dan ketertiban. Israel mendukungnya, berdasarkan keterangan sumber.

Di lain sisi, Kedutaan Israel belum memberikan komentar. Badan-badan intelijen Israel telah lama diyakini mendukung ayah Haftar, tetapi pemerintah Israel belum menyatakan hal ini secara terbuka.

Untuk diketahui, pemilihan umum Libya dijadwalkan pada 24 Desember 2021 mendatang. Pemilihan pertama kali sejak terakhir 2014.

Upaya untuk menjadwalkan pemilihan pada 2018 dan 2019 tertunda karena perang saudara di negara itu.

Awal bulan ini, parlemen Libya mengkonfirmasi pemerintahan sementara dengan perdana menteri sementara dan dewan presiden.

Baca Juga: Wenny Ariani Resmi Layangkan Laporan terhadap Rezky Aditya Atas Dugaan Penelantaran Anak

Sumber-sumber intelijen Israel memperkirakan pemilihan itu akan menjadi pertempuran antara Haftar dan Saif Al-Islam Gaddafi, menurut sebuah laporan di Israel Hayom.

Tawaran Qaddafi diduga didukung oleh pemerintahan Vladimir Putin, yang dilaporkan bertemu dengan kandidat di Moskow pada September tahun lalu, menurut sumber terpisah.

Gaddafi, yang menjabat sebagai perdana menteri de facto di hari-hari memudar rezim ayahnya, berada di ambang batas dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa pihaknya tidak mengambil posisi pada salah satu calon presiden Libya, tetapi menambahkan jelas Qaddafi masih tetap dalam daftar sanksi AS.

Baca Juga: 5 Gelandang dengan Kaki Kiri Terbaik di Dunia, Mulai dari Bernardo Silva hingga Phil Foden

"Meskipun kami tidak mengambil posisi pada kandidat, kami akan mencatat bahwa Saif al-Islam Gaddafi ditetapkan di bawah sanksi PBB dan AS," ujarnya.

Lebih jauh, Haftar, seorang kapten di Tentara Nasional Libya, mengklaim memiliki visi sekuler dan pro-demokrasi untuk Libya, sejalan dengan ayahnya.

Namun dia juga mendapat kritik dari PBB dan aktivis Libya karena memimpin batalion yang diduga menyerang Bank Sentral Libya dan merampok hampir setengah miliar dolar dari pada 2017.

Ayah Haftar, Khalifa Haftar, adalah mantan pemimpin militer terpercaya di bawah Muammar Qaddafi sebelum membelot dan menjadi aset CIA pada 1990-an.

Baca Juga: Respons Sentimen Negatif Publik, KPI Minta Lembaga Penyiaran Televisi Tak Glorifikasi Pembebasan Saipul Jamil

Dia menghabiskan hampir 20 tahun tinggal di Virginia utara dan kembali ke Libya pada 2011.

Sebagai pemimpin LNA, Khalifa Haftar telah menikmati dukungan Barat selama bertahun-tahun. Tetapi aliansinya melemah setelah ia meluncurkan pengepungan militer 2019 terhadap pemerintah sementara yang didukung PBB di Tripoli.

Presiden Emmanuel Macron secara terbuka menegurnya, yang telah didukung Prancis selama bertahun-tahun, atas kampanye militer berdarah.

Sedangkan kelompok hak asasi manusia (HAM) menuduhnya melakukan kejahatan perang tanpa pandang bulu.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: Middle East Monitor

Tags

Terkini

Terpopuler