Wanita Ini 'Diselamatkan' oleh Virus Corona Setelah Dokter Temukan Masalah pada Jantungnya

9 Mei 2020, 08:53 WIB
ANGELA Schlegel.* /New York Post

PIKIRAN RAKYAT - Seorang wanita berusia 36 tahun dikabarkan bahwa Virus Corona "menyelamatkan" hidupnya ketika dokter menemukan ia memiliki kondisi jantung yang tidak terdiagnosis.

Dikutip dari Daily Mail oleh Pikiranrakyat-depok.com, Angela Schlegel, wanita asal London Barat, Inggris sedang berjuang melawan virus di unit perawatan intensif di Rumah Sakit (RS) Royal Brompton London.

Ketika dirinya didiagnosis dengan kondisi yang dikenal sebagai eosinophilic granulomatosis dengan polyangiitis (EGPA).

Baca Juga: Latihan Dasar Militer Selesai Dijalani, Son Heung-min Sabet Gelar Peserta Terbaik

Schlegel yang merupakan Manajer Pembelajaran dan Pengembangan di The Natural History Museum, mengatakan diirnya telah mengunjungi dokternya selama dua tahun terakhir untuk penyakit, tetapi dirinya tidak mengetahui memiliki penyakit jantung.

"Mereka mengatakan kepada saya beberapa kabar bahwa saya benar-benar tidak berharap bahwa saya memiliki penyakit autoimun yang langka, dan itu benar-benar mempengaruhi hati saya." ujar Schlegel.

"Itu hanya membuat hati saya teringat ketika diberi tahu bahwa hati saya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Jika EGPA dibiarkan tidak terdiagnosis saya bisa saja mati," ucap Schlegel.

Baca Juga: Dua Ventilator Karya Anak Bangsa Masuki Tahap Uji Klinis

"Ini sudah menyelamatkan hidup saya dalam jangka pajang, tetapi dalam jangka pendek virus corona hampir membunuh saya," lanjutnya.

EGPA adalah suatu kondisi yang dapat merusak berbagai sistem organ dalam tubuh, termasuk jantung, sendi, paru-paru, dan juga saraf.

Schlegel akhirnya menghabiskan waktu selama lima minggu di rumah sakit dan membayar upeti kepada staf medis yang sudah merawatnya.

Baca Juga: Studi Terbaru: Usai Dinyatakan Sembuh dari Virus Corona, Mayoritas Individu Akan Membawa Antibodi

Sementara itu, Dr Pugan Patel, seorang konsultan yang juga merawat Schlegel, mengatakan bahwa mengawasinya pulih memiliki "dampak besar" pada moral staf medis.

Dia menambahkan kondisi autoimunnya adalah "kondisi yang cukup parah, terutama ketika jantung terlibat".

Biasanya jantung seseorang bersungsi sekitar 50 atau 60 persen. Akan tetapi ketika Schlegel dipindahkan ke RS, jantungnya hanya bekerja sekitar sepuluh persen.

Baca Juga: Obati Kehilangan Akibat Suaminya yang Meninggal, Wanita 74 Tahun Minum 150.000 Soda Selama 40 hari

Pemulihan yang dialami Schlegel bisa menjadi tinjauan yang mendesak, apakah obesitas, etnis, dan jenis kelamin seseorang dapat meningkatkan risiko kematian akibat virus corona.

Matt Hancock, seorang sekretaris kesehatan telah memerintahkan para pejabat kesehatan untuk menjaring ribuan catatan korban pandemi tersebut.

Lebih lanjut, ia mengatakan masih terlalu dini untuk mengkonfirmasi bahwa berat badan adalah faktor tetapi data dari seluruh dunia menunjukan adanya kaitan.

Baca Juga: Sambut Era Industri 4.0, Pasar Digital Akan Jadi Tren Baru Bagi Masyarakat Jabar

Para peneliti di Universitty of Liverpool pekan lalu memperingatkan bahwa obesitas meningkatkan risiko kematian akibat virus sebesar 37 persen.

Sekitar 30.000 orang dewasa di Inggris mengalami obesitas klinis-dengan Indeks Massa Tubuh di atas 30-jumlah tersebut di antara yang tertinggi di dunia Barat.

Sementara jumlah kematian akibat pandemi corona di Inggris kembali naik pada hari kemarin menjadi 28.734 orang. Jumlah tersebut menjadikan Inggris di posisi dua setelah Italia di antara negara-negara Eropa.

Baca Juga: UGM Gelar KKN Daring, Angkat Tema Ketahanan Kesehatan untuk Berikan Edukasi ke Masyarakat

Para ilmuwan percaya obesitas lebih berisiko mengalami komplikasi serius karena kekebalan tubun mereka kecil setelah memperbaiki sel-sel yang rusak oleh kelebih lemak.

"Pengetahuan kami tentang virus ini tumbuh setiap harinya dan tampaknya beberapa kelompok lebih berpengaruh daripada yang lain," kata Matt Hancock.

"Data yang muncul dari seluruh dunia menunjukkan kemungkinan ada hubungan antara obesitas dan dampak covid-19 pada individu orang," imbuhnya.

Baca Juga: Terobsesi Miliki Bibir Terbesar di Dunia, Wanita Ini Lakukan Filler Bibir hingga 20 Kali

"Masih terlalu untuk menerapkan faktor atau kondisi yang terkait dengannya, dikarenakan belum ada cukup data, jadi kita harus hati-hati dalam berasumsi," tutur Matt Hancock.***

Editor: Billy Mulya Putra

Sumber: Daily Mail

Tags

Terkini

Terpopuler