Bernilai Ratusan Juta Dollar, AS Rencanakan Misi Penelitian 'Gila' Guna Kurangi Suhu Sinar Matahari

- 4 Mei 2021, 19:10 WIB
Ilustrasi Matahari.
Ilustrasi Matahari. /Pixabay/ipicgr.

PR DEPOK ­– Amerika Serikat merencanakan misi penelitian “gila” senilai ratusan juta dollar AS, yakni untuk mengurangi suhu sinar matahari.

Para ilmuwan kini berencana mengumpulkan dana senilai 100 juta dollar AS (sekira Rp1,4 triliun) hingga 200 juta dollar AS (sekira Rp2,8 triliun) dalam waktu lima tahun untuk menyelesaikan misi ini.

Dana senilai triliunan rupiah tersebut juga akan digunakan untuk mempelajari lebih dalam tentang sinar matahari, risiko berbahaya yang akan mereka hadapi, dan bagaimana teknologi tersebut dapat dikelola dengan cara yang lebih masuk akal.

Baca Juga: Cara Daftar Bansos Rp3,5 Juta untuk Tambahan Modal Usaha dari Kemensos

Misi tersebut juga harus mendapatkan perizinan dengan pertimbangan, bahwa misi tersebut dapat menawarkan pengetahuan kritis yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain.

Para ilmuwan berharap mendapatkan persetujuan segera dari komite independen untuk pengujian misi tersebut, yang nyata ditentang oleh beberapa kelompok lingkungan.

National Academy of Sciences (NAS) mengatakan, bahwa untuk mengurangi suhu sinar matahari, sebenarnya bisa dilakukan dengan pengurangan emisi bahan bakar fosil.

Hal tersebut menjadi tindakan yang paling relevan dan penting untuk mengatasi krisis perubahan iklim, dibanding harus mengurangi suhu sinar matahari.

Baca Juga: Dukung Novel Baswedan dan 70 Pegawai Lain Dipecat dari KPK, Ferdinand: Tak Lolos Uji ASN, Betul Malapetaka

Namun, tindakan lambat dari beberapa negara dalam mengatasi perubahan iklim dengan cara tersebut, membuat para ilmuwan menawarkan pilihan lain dengan cara mengurangi suhu sinar matahari.

“Mengingat pentingnya krisis perubahan iklim, teknik geo-solar perlu dipelajari lebih lanjut,” kata Prof Marcia McNutt, presiden akademi Harvard University, seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari The Vocket.

Menurut McNutt, seperti halnya kemajuan dalam kecerdasan buatan atau rekayasa genetika, sains juga perlu melibatkan masyarakat, apakah kita perlu melakukan perlu melakukan peredupan matahari atau rekayasa geo-solar.

Baca Juga: Pertanyakan Pengganti Novel Baswedan Jika Ia Dipecat dari KPK, Said Didu: Siapa Saja yang Bisa Jadi Penyidik?

Prof Chris Field dari Stanford University mengatakan, bahwa program riset geo-engineering yang akan dilakukan Amerika Serikat harus membantu masyarakat dalam mengambil keputusan yang lebih akurat.

“Berdasarkan semua bukti dari ilmu sosial, ilmu alam, dan teknologi, program penelitian ini bisa menunjukkan bahwa geo-engineering tidak bisa dipertimbangkan lebih jauh, atau disimpulkan perlu upaya tambahan,” ujarnya.

Sebuah laporan yang dirilis oleh The Guardian mengatakan, program tersebut adalah bagian kecil dari pendanaan Amerika Serikat untuk meneliti dan mempelajari lebih lanjut tentang perubahan iklim.

Baca Juga: PDIP Kritik Anies Soal Pasar Tanah Abang, Cipta: Asal Bacot, jika Mau Adil Kritik Kerumunan Presiden di NTT

Sementara itu, Silvia Ribeiro, direktur grup kampanye Amerika Latin ETC, yakin rekayasa geo-solar terlalu berisiko dan tidak memengaruhi perubahan iklim.

"Geo-engineering adalah proposal teknologi yang sangat berisiko dan tidak adil. Laporan yang meminta lebih banyak penelitian tentang teknologi yang tidak kita inginkan pada dasarnya cacat,” kata Silvia Ribeiro.***

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: The Vocket


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x