Arab Saudi, UEA dan Inggris Gabung AS Desak Militer Sudan Serahkan Pemerintahan ke Sipil

- 4 November 2021, 20:45 WIB
Ilustrasi. Tiga aktivis pro-demokrasi Sudan ditangkap akibat kritik kudeta militer.
Ilustrasi. Tiga aktivis pro-demokrasi Sudan ditangkap akibat kritik kudeta militer. /REUTERS/Umit Bektas

PR DEPOK - Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Inggris dan Amerika Serikat telah mendesak pemulihan pemerintahan sipil di Sudan setelah kudeta pekan lalu.

Kedua negara Arab, yang menikmati hubungan dekat dengan militer yang berkuasa di Sudan, sebelumnya hanya menekankan stabilitas di negara itu.

"Kami menyerukan pemulihan penuh dan segera dari pemerintah dan lembaga transisi yang dipimpin sipil," kata keempat negara dalam pernyataan bersama yang dirilis pada Rabu oleh Departemen Luar Negeri AS.

Baca Juga: Gubernur Jateng Hadiri Rakerwil PAN Jateng, Zulkifli Ajak Seluruh Kader Dukung Ganjar Pranowo

“Kami mendorong pembebasan semua yang ditahan sehubungan dengan peristiwa baru-baru ini dan pencabutan keadaan darurat,” tambah mereka, sebegaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Al Jazeera pada Kamis, 4 November 2021.

AS telah memimpin kecaman atas pengambilalihan kekuasaan oleh militer pada 25 Oktober yang mengganggu transisi menuju demokrasi, di mana kekuasaan dibagi dengan pemerintah sipil yang dipimpin oleh Perdana Menteri Abdalla Hamdok.

“Kekerasan tidak memiliki tempat di Sudan baru, pada titik ini kami mendorong dialog yang efektif antara semua pihak," ujar Departemen Luar Negeri AS.

"Kami mendesak semua untuk memastikan bahwa perdamaian dan keamanan bagi rakyat Sudan adalah prioritas utama,” lanjutnya.

Lebih jauh lagi, militer Sudan juga menghadapi tekanan dari Uni Afrika, yang menangguhkan negara itu sampai pemulihan efektif otoritas transisi yang dipimpin sipil.

Baca Juga: Kata Jerome Polin Usai Videonya Jadi Trending Nomor Satu di YouTube: Pertama Kali dalam Hidup

Yang tidak hadir dalam pernyataan bersama adalah negara tetangga, Mesir, yang posisinya telah menjadi fokus kemarahan beberapa pengunjuk rasa pro-demokrasi yang turun ke jalan untuk mengecam perebutan kekuasaan.

Pernyataan itu muncul ketika upaya mediasi telah berlangsung selama beberapa hari untuk mencari jalan keluar yang dinegosiasikan dari krisis.

Namun, Panglima militer Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengatakan pekan lalu dia ingin membentuk pemerintahan teknokrat baru, dan Hamdok bisa kembali memimpinnya.

Pada Rabu kemarin, kantor Hamdok membantah laporan bahwa dia telah setuju untuk memimpin pemerintahan baru.

Kantor hamdok juga bersikeras bahwa perdana menteri yang digulingkan ingin para tahanan dibebaskan dan badan-badan pemerintahan dipulihkan sebelum melakukan dialog apa pun.

“Hamdok, yang ditahan di kediamannya atas perintah otoritas kudeta, berpegang teguh pada persyaratan bahwa semua tahanan dibebaskan dan institusi konstitusional dipulihkan, sebelum terlibat dalam dialog apa pun,” katanya dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga: 90.000 Personel Militer Rusia Tetap Bersiaga di Perbatasan Ukraina-Rusia Menyusul Ketegangan Kedua Negara

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken membahas krisis Sudan dalam beberapa hari terakhir dengan rekan-rekannya dari Arab Saudi dan UEA selama perjalanan ke Roma dan Glasgow untuk KTT iklim Kelompok 20 dan COP26.

“Saya pikir UEA berbagi keprihatinan kami tentang stabilitas di Sudan,” ujar Jeffrey Feltman, utusan khusus AS untuk Tanduk Afrika.

“Analisis kami adalah bahwa stabilitas di Sudan bergantung pada pemulihan kemitraan antara warga sipil dan militer yang merupakan bagian dari transisi,” katanya.***

Editor: Adithya Nurcahyo

Sumber: Al Jazeera


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah