Kesepakatan UEA-Israel Kurangi Hak Muslim Beribadah di Yerussalem, Izinkan Yahudi Berdoa di Al-Aqsa

- 7 September 2020, 16:06 WIB
Tentara Israel selama patroli di pintu masuk ke kompleks al-Aqsa di Kota Tua Yerusalem, 19 Februari 2019. (Foto AFP)
Tentara Israel selama patroli di pintu masuk ke kompleks al-Aqsa di Kota Tua Yerusalem, 19 Februari 2019. (Foto AFP) /

PR DEPOK – Setelah normalisasi hubungan Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel disepakati oleh kedua belah pihak, pusat penelitian Israel yang khusus membahas Yerusalem menyimpulkan bahwa kesepakatan tersebut telah membuat sebuah perubahan yang bahka tak pernah terjadi sebelumnya.

Dilansir Pikiranrakyat-depok.com dari Middle East Monitor, kesepakatan normalisasi antara UEA dan Israel mengubah hak-hak umat muslim di kompleks suci Al Aqsa.

Terrestrial Jerusalem melaporkan bahwa perjanjian tersebut memberikan legitimasi bagi kaum yahudi untuk berdoa di area suci Al-Aqsa, serta membatasi hak-hak umat muslim untuk beribadah di area Yerusalem yang tengah diduduki Israel tersebut.

Terrestrial Jerusalem sendiri merupakan lembaga independen yang mengkhususkan diri untuk memantau perubahan dan perkembangan yang terjadi di Yerusalem.

Baca Juga: Ketua MPR Usul Perubahan Bentuk Subsidi, Sembako Dinilai Tak Efektif Mendorong Jual Beli Masyarakat

Lembaga ini dijalankan oleh analis politik serta aktivis Israel terkenal, yakni Daniel Seidman.

Daniel Seidman adalah orang yang paling mengetahui tentang segala sesuatu yang terjadi di Yerusalem dan hampir tidak pernah melewatkan berita atau situasi terbaru di kota yang disucikan oleh umat yahudi, islam dan kristen tersebut.

Perjanjian antara UEA dan Israel mengatur perubahan yang signifikan terkait status kota Yerusalem yang menguntungkan bagi Israel. Hal ini otomatis menghilangkan harapan bahwa Yerusalem akan menjadi ibu kota negara Palestina di masa depan.

Laporan lembaga independen tersebut juga mengatakan bahwa dalam kesepakatan UEA-Israel, terdapat satu klausa yang menyita perhatian.

“Muslim yang datang ke Israel dengan damai memiliki hak untuk shalat di Masjid Al-Aqsa,” bunyi salah satu kesepakatan UEA-Israel.

Baca Juga: Deklarasi KAMI di Bandung Ditolak, Panpel: Tak Akan Menyerah dengan Alasan yang Dibuat-buat!

Ini adalah pertama kalinya istilah Masjid Al-Aqsa digunakan dalam dokumen internasional, setelah sebelumnya penyebutan tempat suci tersebut selalu menggunakan istilah Al-Haram Al-Sharif atau tempat suci.

Namun, pernyataan yang awalnya seperti menguntungkan umat muslim itu tidak sesuai harapan.

Terrestrial Jerusalem melaporkan bahwa untuk pertama kalinya hak umat Islam dikurangi menjadi hanya sebatas Masjid Al-Aqsa saja, tidak termasuk semua area kompleks suci tersebut.

Untuk diketahui, Masjidilaqsa ini tak jarang salah diartikan menjadi Masjid Al-Aqsa, tempat umat muslim salat. Faktanya, nama Masjidilaqsa ini merujuk pada area seluas 144.000 meter persegi yang tak hanya disucikan oleh umat islam, tetapi juga oleh yahudi dan kristen.

Sementara Masjid Al-Aqsa, tempat umat islam salat adalah salah satu bagian dari area yang biasa dikenal dengan tempat suci ini.

Baca Juga: Tinggal dalam Sel Berisi 10 Orang Lebih, Narapidana Kasus Narkoba Meninggal Usai Alami Sesak Napas

Namun, umat muslim tetap dengan pendiriannya yang menganggap bahwa seluruh tempat suci adalah Masjid Al-Aqsa dan bukan hanya satu bangunan masjid yang berdampingan dengan dinding selatannya saja.

Menanggapi hal ini, warga Israel mengatakan bahwa Masjid Al-Aqsa hanya sebatas bangunan, dan menganggap bagian lain selain masjid tersebut sebagai candi-candi saja.

Hal ini menandakan bahwa Israel telah membuat perubahan signifikan terhadap Yerusalem dan telah disetujui oleh Uni Emirat Arab.

Tak hanya perubahan perujukan nama Masjid Al-Aqsa, kesepakatan tersebut juga menyatakan bahwa tempat suci lainnya di area seluas 144.000 meter persegi itu terbuka bagi penganut agama lain untuk beribadah dengan damai.

Dengan demikian, laporan yang disampaikan oleh Terrestrial Jerusalem itu menyimpulkan bahwa UEA telah menyetujui perubahan definisi dari situs-situs keagamaan, serta perubahan status Masjid Al-Aqsa dalam kesepakatan UEA-Israel tersebut.

Perubahan status tempat suci ini memicu kekhawatiran akan adanya pembagian spasial Masjidilaqsa. Hal ini serupa dengan apa yang terjadi di Hebron, yakni Israel membagi Masjid Ibrahimi untuk muslim dan yahudi.

Namun, yahudi diketahui mendapatkan bagian yang lebih besar daripada muslim.

Terkait hal ini, Presiden Donald Trump menyatakan bahwa semua orang dari semua agama harus diizinkan untuk beribadah di tempat suci Al-Aqsa, termasuk Masjid Al-Aqsa, Masjid Kubah Batu, serta sejumlah tempat suci lain di area tersebut.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: Middle East Monitor


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x