Dengan UU Ciptaker Produk Bisa Halal Sebelum Fatwa Turun, MUI: Bahaya, Produk Tak Bisa Dipukul Rata

14 Oktober 2020, 13:10 WIB
Ilustrasi sertifikasi halal. /Pikiran-rakyat.com

PR DEPOK -  Penerbitan sertifikat halal yang sebelumnya hanya dapat diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), kini dapat dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH.

Sistem penerbitan sertifikat halal yang baru ini diatur dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Menanggapi regulasi tersebut, BPJPH melalui Anggota Fatwa MUI, Aminudin Yakub, menilai bahwa kebijakan baru tersebut sangat berbahaya mengingat sertifikat halal tidak bisa disamaratakan antara satu produk dengan produk lainnya.

“Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tau seluk beluk sertifikasi," tutur Aminudin saat dimintai keterangan pada Rabu, 14 Oktober 2020, dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari RRI.

Baca Juga: Usai 13 Tahun Menghilang, Gambar Bunda Maria Muncul Kembali Secara Misterius di Tempat Parkir

Berdasarkan keterangan Aminudin, waktu sertifikasi tidak bisa disamakan semuanya karena perbedaan bahan-bahan dari suatu produk.

"Waktu sertifikasi tidak bisa pukul rata. Karena dalam auditnya, bahan-bahan dari produk itu berbeda”

“Tentu, kalau bahan yang dipakai ada sertifikasi halal lebih mudah. Tapi kalau tidak kita sarankan untuk mengganti bahan baku," ujarnya.

Untuk diketahui, terdapat beberapa perbedaan antara ketentuan sertifikasi halal yang terkandung dalam UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 22 Tahun 2014 mengenai jaminan produk halal.

Sejumlah perbedaan kebijakan tersebut di antaranya sebagai berikut.

Baca Juga: Tak Hanya Mahasiswa, Polres Metro Jakarta Selatan Amankan 2 Pelajar SD Saat Demo UU Cipta Kerja

Persyaratan auditor halal

Dalam Pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, auditor halal diangkat oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

Auditor halal adalah orang yang memiliki wewenang melakukan pemeriksaan kehalalan produk.

Sementara LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan atau pengujian terhadap kehalalan produk.

Terdapat enam persyaratan yang ditetapkan dalam UU Nomor 3, untuk menjadi seorang auditor sebagai berikut.

- Warga negara Indonesia,

- Beragama Islam,

- Berpendidikan minimal Sarjana Strata 1di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi,

Baca Juga: Masuki Musim Penghujan, Ridwan Kamil Instruksikan Pjs Walkot Depok Segera Antisipasi Banjir

- Memahami dan memiliki wawasan luas terkait kehalalan produk menurut syariat Islam,

- Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan atua golongan

- Memperoleh sertifikat dari MUI

Sementara itu, dalam UU Cipta Kerja, syarat terakhir bagi auditor halal dihapuskan.

Cara memperoleh sertifikat halal

Dalam Bab V Pasal 29 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dijelaskan bahwa permohonan sertifikat halal diajukan pelaku usaha secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Ayat 2 pasal tersebut juga menyebutkan bahwa permohonan sertifikat halal harus dilengkapi data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, serta proses pengolahan produk.

Baca Juga: Angka Kematian Peselancar karena Serangan Hiu Tinggi, Para Ahli Duga Akibat Peristiwa La Nina

Sementara di ayat 3, dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut terkait tata cara pengajuan permohonan sertifikat halal diatur dalam peraturan menteri.

Akan tetapi, dalam UU Cipta Kerja, ayat 3 pada pasal tersebut diubah menjadi jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal yang dilaksanakan paling lama 1 hari kerja.

Waktu penerbitan

Dalam Pasal 35 UU Nomor 33 Tahun 2014, disebutkan bahwa BPJPH menerbitkan sertifikat halal paling lama tujuh hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima dari MUI.

Namun, pada UU Cipta Kerja, jangka waktu terlama BPJPH menerbitkan sertifikat halal adalah satu hari kerja terhitung sejak fatwa MUI tentang kehalalan produk turun.

Baca Juga: Guna Hindari Penularan Covid-19, KPU Depok Akan Terapkan Tata Cara Baru pada Pecoblosan di TPS

Tak hanya itu, UU Cipta Kerja juga mengatur kebijakan bahwa apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang ditentukan, maka LPH akan dievaluasi dan/atau dikenakan sanksi administrasi.

Lebih lanjut, UU Cipta Kerja juga menetapkan bahwa apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang ditentukan dalam proses memberikan atau menetapkan fatwa, maka BPJPH bisa langsung menerbitkan sertifikat halal.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler