Presiden Diasosiasikan Hanya untuk Satu Kelompok, Refly Harun Nilai Indonesia Tengah Alami Krisis Polarisasi

- 24 Januari 2021, 19:46 WIB
Pakar hukum tata negara, Refly Harun.
Pakar hukum tata negara, Refly Harun. /ANTARA//Indrianto Eko Suwarso/

PR DEPOK – Beberapa waktu lalu warganet dihebohkan oleh beredarnya video viral di media sosial Twitter, yang memperlihatkan kerumunan massa saat Presiden Jokowi tengah membagikan nasi kotak kepada para pengungsi banjir di Kalimantan Selatan.

Video yang diunggah oleh akun Twitter@cybsquad_ tersebut, bahkan membuat warganet ingin agar Presiden Jokowi juga diproses hukum seperti yang dilakukan terhadap Habib Rizieq atas kasus  kerumunannya beberapa waktu lalu.

Ahli hukum tata negara, Refly Harun, kemudian tutur menanggapi reaksi para warganet tersebut.

Baca Juga: Pemuka Agama Yahudi Sebut Vaksin Covid-19 Mampu Ubah Pria Menjadi Seorang Gay

Melalui kanal YouTube pribadinya, Refly Harun mengatakan bahwa dia sudah memperingati sejak awal, jika kasus kerumunan seharusnya tidak diproses dengan pendekatan pidana.

Sebab, nantinya justru akan membuat publik akan terus-menerus saling melaporkan jika ada kasus kerumunan, bahkan seperti saat ini, dengan meminta Presiden untuk juga dipidanakan.

 Refly menilai, saat ini bangsa Indonesia tengah berada di titik krisis polarisasi. Sehingga membuat masyarakat dengan mudahnya saling menyalahkan dan bahkan saling melaporkan satu sama lain.

Baca Juga: KNKT Duga Sriwijaya Air SJ 182 Bermasalah pada Autothrottle Sebelum Terbang, Ini Penjelasan Vincent Raditya

“Yang terjadi sekarang, bangsa kita mencapai pada titik saling olok-mengolok, saling gugat-menggugat, saling lapor-melaporkan. Jadi ketika Habib Rizieq ditersangkakan karena protokol kesehatan, maka imajinasi orang harus jadi tersangka dan dipenjarakan juga,” ujar Refly sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-depok.com.

Dalam kasus ini, dia menilai bahwa krisis polarisasi sudah dalam titik yang mengkhawatirkan.

Bahkan, sampai pada titik dimana sosok presiden saat ini sudah diasosiasikan  hanya untuk kelompok tertentu.

Baca Juga: Hampir Setahun Merebak di Indonesia, Ternyata Ini Kunci Sukses Baduy Catat Nol Kasus Covid-19

Menurut Refly, hal itu membuat konsep negara sudah menjadi tidak benar. Seharusnya presiden tidak boleh diasosiasikan hanya pada satu kelompok, namun harus menjadi presiden bagi seluruh masyarakat Indonesia.

“Kalau kita memandang sesuatu itu selalu berdasarkan perspektif pengelompokan, dan bayangkan bahkan seorang presiden, yang harusnya mewadahi kita semua, bapak kita semua, itu hanya dipersepsikan sebagai presiden satu kelompok, gawat sekali bangsa kita ini,” tutur Refly.

“Kalau saya bilang cebong dan kampret misalnya, presiden itu dianggap sebagai presidennya cebong. Lalu ada istilah baru kadrun misalnya, dan setiap saat bahwa seolah-olah yang dikatakan kadrun itu bukan rakyatnya, bukan warga negaranya jokowi.  Konsep Negara kita jadi tidak benar,” sambungnya.

Baca Juga: Siswi Non Muslim di Padang Dipaksa Gunakan Jilbab, KPAI Tegas: Tindakan Itu sebagai Pelanggaran HAM

Oleh sebab itu, Refly mengimbau, bahwa seharusnya jika ada perbedaan pandangan di antara masyarakat, diselesaikan dalam ranah perdebatan horizontal saja.

Bukan justru malah membawanya hingga ranah vertical, seperti halnya sosok presiden. Sebab, presiden itu harus berada di luar pengelompokan masyarakat. Presiden harus menjadi milik masyarakat bersama.

“Jadi seharusnya, kalau terjadi perdebatan horizontal, antara satu kelompok  dan kelompok masyarakat lainnya, sepanjang itu masih berdebat, debat horizontal, ya silahkan saja. Tapi presiden harus beyond (di luar pengelompokan), presiden harus jadi presiden kita semua. Kecuali, gaya presidennya ugal-ugalan  seperti Donald Trump, yang tidak menampilkan sebagai Presiden Amerika secara keseluruhan, tapi presiden kelompoknya. Sehingga dia berusaha bagaimana didukung oleh kelompok-kelompok yang sepemikiran dengannya dan tidak menghargai Amerika secara keseluruhan,” kata Refly.

Baca Juga: Sindir Buzzer Soal Korupsi Dana Bansos, Rizal Ramli: Contoh BuzzeRP Bodoh, Asal Bela!

Lebih lanjut, Refly menilai, jika krisis polarisasi dengan sikap saling lapor-melapor terus terjadi, maka akan membuat dampak yang sangat buruk terhadap masa depan demokrasi Indonesia.

“Perspektif itu, yang menurut saya karena peninggalan dari presidential threshold, yang membagi pengelompokan masyarakat ini dan masih terasa sekarang. Siapapun yang kritis dengan pemerintahan Jokowi, pasti ada saja orang yang menghantam. Tidak hanya begitu, bahkan ingin memenjarakan, ingin mempidanakan, dan lain sebagainya, yang itu sangat buruk bagi masa depan demokrasi kita,” ujar Refly.

Refly pun mengingatkan bagi siapapun kedepannya, untuk bisa berdemokrasi secara bijak. Bukan dengan terus melakukan tindakan koersif satu sama lain.

Baca Juga: Soal Siswi Non Muslim Dipaksa Berjilbab, Nadiem Makarim: Sanksi Tegas, Kemungkinan Pembebasan Jabatan

“Jadi marilah kita berdemokrasi secara gentle, menerima segala perbedaan pendapat, dan tidak menggunakan kekuatan koersif untuk misalnya membungkam, mempidanakan, dan lain sebagainya,” tutur Refly.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x