"Coba buktikan orang yang menuduh ini pemaksaan. Jadi saya melihat ini bukan hanya perkara SMK saja, ini ada masalah lain yang ditujukan ke Sumatra Barat," tuturnya.
Sementara itu, Pengamat Hukum Universitas Bung Hatta Padang Miko Kamal, Phd mengungkapkan bahwa ia termasuk pihak yang tidak setuju dengan aturan keharusan memakai jilbab bagi semua siswi.
"Pertama, perempuan Muslim dan non muslim, kok, disamakan. Harusnya memang ada pembeda. Biar kalau bertemu di jalan, muslim lainnya bisa membedakan, kemudian perintah menutup kepala rapat-rapat kan memang hanya untuk para Muslimah saja," terangnya.
Namun, ia tidak yakin kebijakan Kepala SMK Negeri 2 Padang itu sedang menjalankan program Islamisasi di sekolahnya.
"Perasaan saya, ini kebijakan teknis saja. Teknis merapikan semua murid yang datang ke sekolah. Tanpa terkecuali. Ini, nampaknya, terjemahan dari kebijakan berseragam di sekolah-sekolah kita," ujar dia.
Menurut Miko, kebijakan teknis itu dianggap serius oleh kelompok tertentu. Saking seriusnya, Kepala sekolah dianggap melanggar HAM mengganggu kebebasan beragama. Bahkan dijadikan bukti baru bahwa orang Sumbar semakin intoleran.
Padahal ia memastikan kehidupan sosial orang Sumbar tidak seperti itu. Di Padang, lanjut dia, warga pondok bebas ke gereja atau vihara. Warga Tionghoa pun tidak segan meminta jatah beras ke masjid.
Seperti diketahui sebelumnya, Kepala SMKN 2 Padang Rusmadi menyampaikan pihaknya tidak ada memaksa siswi memakai jilbab dan yang dilakukan hanya untuk keseragaman berpakaian di sekolah itu pun jika siswi bersedia.