Nilai Kudeta Militer di Myanmar Buruk bagi Demokrasi, Fadli Zon Dorong ASEAN Lakukan Tindakan Progresif

- 3 Februari 2021, 10:39 WIB
Anggota DPR RI, Fadli Zon.
Anggota DPR RI, Fadli Zon. /Twitter/@fadlizon.

PR DEPOK – Myanmar kini tengah menjadi sorotan dunia lantaran kudeta yang terjadi pada Senin, 1 Februari 2021 lalu.

Dalam kudeta itu, sejumlah pemimpin sipil Myanmar seperti Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint beserta sejumlah prjabat lainnya telah ditangkap dan ditahan pihak militer.

Peristiwa pengambilalihan kekuasaan dari pemerintah pimpinan Aung San Suu Kyi yang baru saja terpilih secara demokratis itu juga memancing keprihatinan dunia, salah satunya yakni Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon.

Baca Juga: Sebut AHY ‘Anak Kemarin Sore’ di Dunia Politik, Teddy: Takut tak Terpilih Lagi? Masa Hal Dasar Gini Gak Paham?

"Sebagai anggota parlemen, saya sangat prihatin sebab kudeta itu dilakukan saat parlemen baru Myanmar hasil Pemilu 2020 akan memulai persidangan," kata Fadli Zon.

Sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari situs resmi DPR RI, dia menilai bahwa kudeta di Myanmar tidak hanya sebagai bentuk kemunduran demokrasi di Negeri Pagoda Emas itu, melainkan juga bisa memengaruhi persepsi dunia terhadap praktik demokrasi di ASEAN.

"Pengambilalihan kekuasaan oleh militer Myanmar itu telah menghilangkan peran parlemen sebagai alat kontrol kekuasaan. Ini buruk bagi demokrasi," kata dia dalam siaran persnya pada Selasa, 2 Februari 2021 kemarin.

Lebih lanjut, Fadli Zon berharap ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) yang merupakan organisasi parlemen negara-negara ASEAN dapat segera merespon terkait peristiwa tersebut.

Baca Juga: Moeldoko Dinilai Cocok Pimpin Partai oleh Senior Demokrat, Dedek Uki: Lho Kenapa, Meragukan Kapabilitas AHY?

Menurut Fadli Zon, hingga tahun 2011 lalu, Myanmar memang diperintah oleh angkatan bersenjata. Namun, setelahnya mereka melakukan reformasi demokrasi dan mengakhiri kekuasaan militer.

Kudeta militer kemarin, telah menarik mundur proses demokrasi yang sudah berjalan, dan politisi Partai Gerindra itu sangat menyayangkan hal tersebut.

Selain menilai demokrasi dari kudeta itu, Fadli Zon juga mencemaskan krisis politik di Myanmar akan menghambat penyelesaian tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingnya.

Sebagai catatan, lantaran tindakan keras militer Myannar, kata dia, sejak 2017 silam ratusan ribu etnis Rohingnya terusir dan telah mengungsi ke berbagai negara, termasuk Indonesia.

Baca Juga: Sindir Keras AHY Soal Kudeta Demokrat, Marzuki Alie: Sebaiknya Mundur daripada Fitnah, Masuk Neraka!

Menurutnya, tindakan militer Myanmar itu jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara brutal.

''Pada akhir 2017, saya telah melihat langsung kamp pengungsian di Cox Bazaar, perbatasan Bangladesh, yang dihuni ratusan ribu warga Rohingnya. Mereka adalah korban yang selamat dari penyiksaan dan penindasan militer Myanmar," kata Fadli Zon.

"Bahkan, saya telah bertenu langsung di Jenewa dengan Mantan Sekjen Perserikatan Banga-Bangsa (PBB) Kofi Annan yang menginisiasi investigasi melalui Annan Report. Annan sangat prihatin atas dominasi militer dalam formasi pemerintahan sipil Myanmar."

Di era kepemimpinan sipil saja, lanjutnya, masalah Rohingnya takbisa diselesaikan dengan baik karena pemimpin sipilnya takut kepada militer.

Baca Juga: HNW Sebut Pemilu Serentak 2024 untuk Jegal Anies Baswedan, Ferdinand: Jangan Bohongi Rakyat Pak Ustaz!

Pada kondisi saat ini, terlebih adanya kudeta militer dan krisis politik, Fadli Zon menilai bahwa kasus Rohingnya akan semakin diabaikan pemerintah Myanmar.

Itu sebabnya, kata Fadli, pihaknya mendesak agar semua pihak yang terlibat konflk di Myanmar bisa menahan diri.

Selain itu, Fadli Zon mengatakan bahwa dirinya mendorong agar ASEAN melakukan tindakan progresif dalam menyikapi persoalan yang terjadi di Myanmar.

"Menurut saya, ASEAN perlu mendorong terjadinya dialog, dan mungkin juga power sharing antarfraksi yang terlibat konflik. Sebab, selama ini ASEAN sangat lamban dan takbanyak berfungsi dalam mengatasi persoalan-persoalan semacam itu. ASEAN kelihatan tak berdaya dalam menangani masalah Rohingnya apalagi kini ada kudeta," ujarnya.

Baca Juga: Diduga Sindir AHY Soal Isu Kudeta Demokrat, Muannas Alaidid: Dulu Gagal Pilkada, Sekarang Gagal Pimpin Partai

Fadli Zon juga menegaskan bahwa ASEAN dituntut harus mampu menafsirkan asas non-interference secara lebih progresif.

Sebab, kata dia, selama ini prinsip tersebut telah membelenggu ASEAN untuk melakukan tindakan berarti jika ada konflik yang terjadu di negara anggotanya.

"Kita memang harus menghormati kedaulatan negara lain. Namun, asas non-interference seharusnya tak dimaknai bahwa ASEAN bersikap pasif atas situasu di Myanmar. Saya mendorong agar pemerintah Indonesia bisa menginisiasi dialog tersebut. Tentu DPR akan sangat mendukung langkah tersebut sebagai wujud komitmen terhadap demokrasi dan HAM," ujarnya.***

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: DPR RI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah