PR DEPOK – Pakar Hukum Tata Negara (NTH), Refly Harun memaparkan pendapatnya terkait pernyataan yang baru-baru ini dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Jokowi menyampaikan permintaannya pada masyarakat untuk lebih aktif memberikan kritik.
Pernyataan tersebut disampaikan Jokowi dalam sambutan di acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI 2020 yang disiarkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Ia mengungkapkan bahwa penyampaian kritik tersebut guna mencapai tujuan pelayanan publik yang lebih baik lagi.
“Semua pihak harus menjadi bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Masyarakat harus lebih aktif dalam menyampaikan kritik, masukan atau pun potensi maladministrasi,” ucap Jokowi.
Atas hal tersebut, Refly Harun merasa khawatir bahwa Jokowi menyatakan hal itu hanya dalam satu perspektif saja, yakni pelayanan publik.
“Kalau soal ini, sebenarnya kan Presiden Jokowi juga kesal dengan pelayanan publik di birokrasinya,” tuturnya sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari kanal YouTube Refly Harun pada Rabu, 10 Februari 2021.
“Sering sekali kan kita lihat Presiden marah-marah? Karena itulah dia punya rencana untuk memotong birokrasi pelayanan publik,” ujarnya.
Menurutnya, kadang-kadang birokrasi sengaja diciptakan agar ada ketergantungan antara agen pelayanan publik dengan mereka yang membutuhkan pelayanan publik.
Baca Juga: Bingung Bullying Buzzer Lebih Sepi Belakangan Ini, Ainun Najib: Masih Tunggu Anggaran 2021 Cair?
“Ya apa saja, pengurusan apapun yang harus melalui izin atau surat dari negara,” kata Refly Harun.
Ia menilai, baik Jokowi maupun presiden-presiden lainnya sangat memperhatikan hal itu.
“Kenapa? Karena di sinilah sesungguhnya yang membuat negara kita lambat dalam mengantisipasi perubahan atau perkembangan zaman,” ucapnya.
Baca Juga: Jadwal Pemadaman Listrik Kota Depok Rabu, 10 Februari 2021, Mulai Pukul 09.30 Hingga 16.00 WIB
Karena kalau pelayanan publiknya lambat, kata dia, maka tenaga yang dibutuhkan masyarakat untuk mengurus proses perizinan dan lain sebagainya akan lebih lama dan membuat mereka tidak produktif.
“Nah sisi lain, sesungguhnya kritik itu dalam konteks berdemokrasi. Apakah Presiden Jokowi memaksudkan itu, kritik dalam konteks berdemokrasi?” ujarnya.
“Ataukah hanya sekadar masukan bagi pelayanan publik? Kalau masukan bagi pelayanan publik, itu sempit,” lanjut dia.
Baca Juga: Antam hingga UBS Naik Lagi, Cek Daftar Harga Emas di Pegadaian Hari Rabu, 10 Februari 2021
Akan tetapi, ia menyebut apabila yang Jokowi maksudkan yakni masukan bagi proses demokrasi dan partisipasi, itu lebih luas.
“Karena itulah ada isu di sini mengenai UU ITE dan buzzer,” kata Refly Harun.
Akademisi itu mengungkapkan bahwa terdapat persoalan, yakni ada 3 kemungkinan yang dapat terjadi sebagai sebuah serangan balik.
“Pertama, diserang buzzer. Kalau diserang buzzer saja mereka dikatakan ‘anjing’, ‘monyet’ ya it’s okay. Walaupun saya tahu keluarga saya tidak suka. Tapi saya tidak pernah ingin mengadukan akun-akun seperti itu,” ujarnya.
Yang kedua, lanjut dia, yakni serangan doxing, yang merupakan serangan terhadap soal-soal yang sifatnya pribadi.
“Nah, itu sering menjadi sebuah ancaman. Tapi lagi-lagi saya mengatakan, itu konsekuensi ketika kita berada di area publik, orang akan mencari kelemahan kita,” tuturnya.
Yang ketiga, yakni pemidanaan laporan-laporan kepolisian, lalu ditindaklanjuti dengan penersangkaan dan penahanan.
“Padahal kalau kita punya komitmen untuk berdemokrasi, harusnya tidak seperti itu,” kata Refly Harun.
Tidak hanya itu, ia menambahkan bahwa memang ada kritik yang bernuansa penghinaan.
“Namun, kritik dan penghinaan itu terkadang tipis bedanya,” lanjut dia.
Oleh sebab itu, ia meminta para penegak hukum untuk memahami terlebih dulu perkara yang tengah dihadapi.
“Maka dari itu, dalam hal ini, penegak hukum harus paham bahwa mereka ini menghina atau mengkritik,” tuturnya.***