"Habib Rizieq akan dijadikan musuh abadi untuk konsolidasi kekuasaan. Hakim-hakim ini juga akan melihat bahwa ada pembusukan dalam kekuasaan. Lain kalau kekuasannya itu betul-betul sekuat-kuatnya diktator, hakim-hakim ini juga mulai menengok bahwa jangan-jangan kalau kekuasaan berhenti di tengah jalan, hakim-hakim ini menjadi korban. Jadi, hakim ini hati nuraninya, pelan-pelan sebetulnya, terbit bukan karena ada kesadaran moral hukum, tapi karena juga dia melakukan kalkulasi pragmatis. Jadi, mereka mesti balancing," tutur Rocky kepada Hersubeno Arief.
Berdasarkan analisis Rocky Gerung, pada dasarnya semua kembali pada permasalahan persaingan politik.
"Tukar tambah moral tetap defisitnya ada di istana, karena istana berlimpah koruptor, yang secara moral sedang membusukan demokrasi, berlimpah kasak-kusuk politik, berlimpah ambisi politik, sementara Habib Rizieq nggak punya ambisi politik, dia hanya ingin mengembalikan keadilan," ucapnya.
Dia kembali menegaskan bahwa kondisi ini termasuk kontras moral antara dua kepemimpinan.
"Poinnya bukan pada soal kriminalisasi, tapi kontras moral antara pemimpin alternatif dan pemimpin petahana yang defisit juga moralnya. Habib Rizieq adalah bukti bahwa pemerintah melakukan rekayasa untuk divided nation, untuk membelah masyarakat," tuturnya.***