PR DEPOK – Novel Baswedan dan 74 pegawai KPK lainnya yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan melaporkan lima pimpinan KPK ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Lima Pimpinan KPK adalah Ketua KPK Firli Bahuri serta empat Wakil Ketua KPK masing-masing Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, Alexander Marwata, dan Nawawi Pomolango.
"Semua pimpinan karena sebagaimana kita ketahui SK 652 ditandatangani oleh Bapak Firli Bahuri, dan kami berpikiran itu kolektif kolegial, sehingga semua pimpinan kami laporkan," kata Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK Hotman Tambunan selaku perwakilan 75 pegawai, seperti dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari Antara.
Surat Keputusan (SK) itu tentang Hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat Dalam Rangka Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Laporan yang diajukan Novel Baswedan dan 74 pegawai KPK lainnya kepada seluruh pimpinan KPK ini kemudian dikomentari oleh mantan politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean.
Tampak heran, Ferdinan pun mempertanyakan kenapa 75 pegawai KPK tersebut “berkeras” untuk melaporkan pimpinan KPK. Lantas dia melontarkan beberapa pertanyaan.
“Ngotot bangat sih? Ada misi apa kira2? Politik kah yang membuatmu sedemikian ngotot? Atau merasa tak terima kehilangan kekuatan bisa berbuat apa saja?” ujarnya seperti dikutip dari akun Twitter pribadinya @FerdinandHaean3.
Lebih lanjut, Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK Hotman Tambunan selaku perwakilan 75 pegawai, menjelaskan ada tiga hal berkaitan dengan pelaporan terhadap lima Pimpinan KPK tersebut.
"Yang pertama adalah tentang kejujuran. Dalam berbagai sosialisasi, Pimpinan KPK mengatakan bahwa tidak ada konsekuensi daripada tes wawasan kebangsaan, dan kami juga berpikir bahwa asesmen bukanlah suatu hal yang bisa meluluskan dan tidak meluluskan suatu hal," katanya.
Baca Juga: Sinopsis The Divergent Series: Insurgent, Aksi Para Divergent Membongkar Kejahatan Pemerintah
Ia mengatakan proses alih status menjadi ASN merupakan hak pegawai KPK yang akan menentukan masa depan, sehingga sudah sewajarnya informasi yang diberikan kepada pegawai adalah informasi yang benar.
Alasan kedua, ia menyinggung soal materi tes wawancara dalam tes wawasan kebangsaan tersebut yang janggal.
"Yang kedua adalah kami melaporkan pimpinan kepada dewan pengawas, karena ini juga menyangkut suatu hal yang menjadi kepedulian kami terhadap anak perempuan kami, terhadap adik dan kakak perempuan kami. Kami tidak menginginkan lembaga negara digunakan untuk melakukan suatu hal yang diindikasikan bersifat pelecehan seksual dalam rangka tes wawancara seperti ini," ujarnya.
Alasan terakhir, terkait dengan Pimpinan KPK yang sewenang-wenang dalam mengambil keputusan.
"Dapat kita lihat bahwa tanggal 4 Mei (2021), MK (Mahkamah Konstitusi) telah memutuskan bahwa TWK tidak akan memberikan kerugian kepada pegawai, tetapi pada tanggal 7 Mei (2021) tiga hari berselang pimpinan mengeluarkan SK 652 yang notabenenya sangat merugikan pegawai," tuturnya.
Menurutnya, keputusan MK itu merupakan suatu keputusan yang bersifat final dan mengikat, namun ppimpinan justru tidak mengindahkan keputusan tersebut. Bahkan malah mengeluarkan keputusan 652 yang sangat merugikan 75 pegawai KPK.***